
PWMU.CO – Dalam upaya meningkatkan pemahaman tentang ibadah di bulan Ramadan, SD Muhammadiyah Manyar Gresik mengadakan Kajian Ramadan di Aula SDMM pada Kamis (13/3/2025). Acara ini menghadirkan Ustadz Tajun Nasher Lc MPd dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Gresik, yang membahas materi seputar khilafiyah dalam shalat dan puasa Ramadan. Seluruh guru dan tenaga kependidikan SDMM turut serta dalam kegiatan ini.
Kepala SDMM, Ria Pusvita Sari, dalam sambutannya mengingatkan bahwa guru dan tenaga kependidikan Muhammadiyah tidak hanya sekadar bekerja di sekolah, tetapi juga perlu aktif dalam kajian Muhammadiyah.
“Harapan kami, setiap kajian ini menjadi sarana untuk memahami praktik ibadah sesuai dengan Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah,” ujarnya.
Dalam pemaparannya, Ustadz Tajun yang juga bertugas di KUA Panceng, Gresik Utara, menjelaskan bahwa perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan umat Islam terjadi di antara para mujtahid atau ulama.
“Perbedaan tidak hanya terjadi setelah zaman Rasulullah, tetapi juga sudah ada di kalangan para sahabat dalam memahami sabda beliau,” katanya.
Ia kemudian menjelaskan enam faktor penyebab perbedaan pendapat di antara ulama, yang dipaparkan melalui slide presentasi:
- Perbedaan dalam lafaz bahasa Arab.
- Perbedaan dalam periwayatan hadist.
- Perbedaan sumber hukum syariat.
- Perbedaan dalam qawaid ushuliyah (kaidah usul fiqh).
- Perbedaan dalam metode ijtihad dan qiyas.
- Perbedaan dalam tarjih dalil-dalil.
Di antara perbedaan yang mencolok dalam praktik ibadah masyarakat adalah perbedaan tata cara salat dan ibadah di bulan Ramadan. Salah satu contohnya adalah perbedaan dalam salat Subuh, khususnya mengenai penggunaan doa qunut.
“Menurut Keputusan Tarjih Muhammadiyah, shalat Shubuh tidak dianjurkan membaca qunut. Hal ini merujuk pada Mazhab Hanafi dan berdasarkan hadist dari sahabat Anas bin Malik yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw pernah melakukan qunut selama satu bulan setelah rukuk, kemudian beliau meninggalkannya. Ini menunjukkan bahwa hukum qunut telah dinasakh,” jelasnya.
Selain itu, Ustadz Tajun juga membahas perbedaan dalam jumlah rakaat salat Tarawih yang sering menjadi perdebatan di masyarakat.
“Salat Tarawih memiliki berbagai pendapat, ada yang melaksanakan 20 rakaat dengan 3 rakaat witir, 36 rakaat dengan 3 witir, 11 rakaat dengan 3 witir, bahkan ada yang tanpa batasan rakaat seperti pendapat Imam Ibnu Taimiyyah,” paparnya.
“Dari berbagai pendapat tersebut, Muhammadiyah memilih pendapat yang ketiga, yaitu 11 rakaat. Dalil yang digunakan di antaranya adalah hadist dari Aisyah, Ibnu Umar, Zaid bin Khalid Al-Juhani, dan As-Saib bin Yazid,” pungkasnya. (*)
Penulis Zaki Abdul Wahid Editor Wildan Nanda Rahmatullah