
PWMU.CO – Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Sidoarjo menggelar Shalat Idul Fitri 1 Syawal 1446 H di kompleks Perguruan Muhammadiyah, Jalan Mojopahit 666B, Sidoarjo.
Ribuan jamaah mulai berdatangan sejak pukul 05.00 WIB, memenuhi halaman depan kantor PCM Sidoarjo. Berdasarkan perhitungan panitia, jumlah jamaah yang hadir diperkirakan mencapai 3.800 orang.
Bertindak sebagai khatib dalam Shalat Id tersebut adalah mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang saat ini menjabat sebagai Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu, Jakarta Selatan, Prof Dr M Din Syamsuddin.
Dalam khotbahnya yang bertema Mendaki Jalan Ketakwaan Meraih Hidup Berkemajuan, beliau menyampaikan pesan penting tentang makna fitrah, tantangan moral bangsa, serta peran umat Islam dalam membangun peradaban.
Dalam mengawali khotbahnya, Prof Din Syamsuddin menegaskan bahwa Idul Fitri adalah hari raya kesucian, kekuatan, dan kemenangan bagi umat Islam yang telah menjalani ibadah di bulan Ramadan. Kata fitrah sendiri bermakna kesucian dan kekuatan, yang menjadi sifat dasar manusia sejak dilahirkan.
“Manusia terlahir dengan fitrah kemanusiaan yang suci, tanpa membawa dosa warisan dari siapa pun. Ruh yang ditiupkan ke dalam jasad sebelum kelahiran telah mengikat perjanjian suci dengan Sang Pencipta,” ujar Prof Din.
Menurutnya, kesucian dan kekuatan adalah dua dimensi utama dari fitrah manusia. Jika keduanya dikembangkan secara seimbang, maka akan lahir insan fitri, yakni manusia dengan kepribadian yang suci dan kuat. Itulah esensi dari ketakwaan yang menjadi tujuan utama ibadah di bulan Ramadan.
Jihad Besar dalam Mengendalikan Hawa Nafsu
Lebih lanjut, Prof Din menyoroti bahwa kemenangan sejati yang diraih oleh kaum beriman setelah Ramadan adalah keberhasilan menundukkan hawa nafsu, yang dalam Islam disebut sebagai jihad besar (al-jihad al-akbar).
“Mengendalikan hawa nafsu lebih berat daripada berjihad di medan perang (al-jihad al-ashghar). Jika tidak mampu mengendalikannya, manusia akan terjerumus dalam keburukan seperti kekerasan, korupsi, penyalahgunaan jabatan, hingga dekadensi moral,” paparnya.
Ia menyoroti fenomena degradasi moral di masyarakat, yang ditandai dengan meningkatnya tindakan kekerasan, perpecahan sosial, serta perilaku individualistik. Padahal, dalam sejarahnya, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, pejuang, dan memiliki semangat gotong royong.
Dalam khotbahnya, Prof Din juga mengingatkan bahwa globalisasi dan modernisasi membawa dampak positif sekaligus tantangan bagi umat Islam.
Kemajuan teknologi informasi mempermudah komunikasi dan akses ilmu pengetahuan, namun di sisi lain, juga melahirkan gaya hidup materialistik, individualistik, dan hedonistik.
“Islam menekankan bahwa Allah Swt harus menjadi pusat kesadaran dan kehidupan manusia, sebagaimana yang terpantul dalam syahadat kita: Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah,” tegasnya.
Oleh karena itu, Idul Fitri menjadi momentum untuk kembali kepada fitrah, yaitu kepribadian yang suci dan kuat.
Prof Din menekankan bahwa Ramadan bukan sekadar ritual tahunan, melainkan sarana penyucian diri (tazkiyatun nafs) dan penguatan diri (tarqiyatun nafs), sehingga seorang Muslim mampu menjadi pribadi yang lebih baik dalam hubungan dengan Allah maupun sesama manusia.
Sebagai penutup, Prof Din mengingatkan bahwa Islam adalah agama kemajuan (din al-hadharah). Umat Islam harus senantiasa meningkatkan kualitas hidup dan berorientasi pada perbaikan diri secara berkelanjutan.
“Rasulullah Saw bersabda: Barang siapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, maka ia termasuk orang yang sukses. Barang siapa yang harinya sama dengan kemarin, maka ia merugi. Dan barang siapa yang harinya lebih buruk dari kemarin, maka ia termasuk orang yang celaka,” kutipnya.
Dengan semangat Idul Fitri, ia mengajak umat Islam untuk terus berkontribusi dalam membangun bangsa dengan akhlak yang mulia, semangat perjuangan, dan etos kerja tinggi, demi meraih kehidupan yang berkemajuan. (*)
Penulis Muhammad Mauludy