
PWMU.CO – Nilai tukar rupiah terus melemah hingga menyentuh level kritis Rp17.000 per dolar AS pada Senin (7/4/2025) pukul 10.43. Hal tersebut mencerminkan tekanan berat pada perekonomian Indonesia. Kondisi ini memicu kekhawatiran terhadap stabilitas ekonomi serta daya beli masyarakat.
Terkait hal tersebut, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Jember, Dr Eko Budi Satoto MMT memberikan analisisnya mengenai pelemahan rupiah. Menurutnya, faktor eksternal dan internal berpotensi saling memperburuk situasi.
“Kondisi perekonomian Indonesia saat ini sangat berat dengan beban utang yang banyak, juga ditambah dengan kebijakan perekonomian yang tidak disukai oleh pasar, seperti adanya Danantara,” jelasnya.
Selain itu, kebijakan larangan ekspor sawit ke Eropa dan pembatasan nikel dinilai memperburuk hubungan dagang dengan negara-negara Eropa. Meskipun hubungan dengan Cina masih terjaga dengan baik, tantangan lain muncul ketika Amerika Serikat memberlakukan tarif ekspor tinggi, yang berdampak pada banyak negara, termasuk Indonesia.
Budi menambahkan bahwa pelemahan rupiah semakin diperparah oleh penurunan pasar saham.
“Dari pantauan saya, hampir semua saham anjlok. Ini pertanda bahwa krisis sudah terjadi,” tegasnya.
Ia juga menyatakan bahwa kenaikan dolar AS membebani industri yang bergantung pada bahan baku impor dan berpotensi meningkatkan angka pengangguran.
“Harga bahan baku naik, biaya produksi melambung. Namun, saat barang jadi diekspor ke AS, tarif tinggi membuat harga jual tidak kompetitif. Akibatnya, permintaan menurun, pabrik berisiko kolaps, dan pengangguran dapat meningkat,” paparnya.
Sebagai solusi darurat, Budi menyarankan peningkatan konsumsi produk lokal untuk mengurangi tekanan impor dan menjaga perputaran ekonomi dalam negeri.
Sementara itu, Dosen FEB Unmuh Jember lainnya, Achmad Hasan Hafidzi SE MM menyoroti kebijakan tarif impor AS sebesar 32 persen sebagai salah satu pemicu pelemahan rupiah.
“Amerika menerapkan tarif tinggi terhadap produk Indonesia, sementara kita tidak mampu membalas karena ketergantungan kita terhadap dolar masih sangat besar,” ujarnya.
Hasan menjelaskan bahwa Indonesia sebenarnya tidak harus sepenuhnya berpatokan pada dolar, melainkan bisa beralih ke poundsterling atau euro. Namun, permasalahannya adalah permintaan ekspor Indonesia dari kawasan Uni Eropa masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara yang bertransaksi menggunakan dolar.
Ia juga beranggapan bahwa Indonesia akan sangat sulit untuk melawan kebijakan tarif impor yang dibuat oleh AS.
“Cina bisa melawan kebijakan AS karena ekonominya kuat, sedangkan Indonesia masih lemah, sehingga sulit menerapkan pembalasan tarif yang setara,” tuturnya.
Ia mendorong Indonesia untuk bergabung dengan BRICS (aliansi ekonomi yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) guna mengurangi ketergantungan pada dolar.
“Dengan transaksi non-dolar, nilai rupiah bisa lebih stabil karena tidak terlalu terpengaruh fluktuasi dolar AS,” tegas Hasan.
Kedua dosen tersebut sepakat bahwa krisis nilai tukar rupiah saat ini memerlukan solusi jangka pendek dan jangka panjang. Di tingkat masyarakat, meningkatkan konsumsi produk lokal dapat membantu mengurangi tekanan impor. Sementara itu, di tingkat kebijakan, diversifikasi mata uang perdagangan serta kerja sama ekonomi alternatif seperti BRICS, dapat menjadi strategi untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS dan memperkuat stabilitas rupiah. (*)
Penulis Sukron Kasyir Editor Ni’matul Faizah