
Oleh Anissa Putri Amelia – Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya
PWMU.CO – Dinamika ketenagakerjaan suatu negara sangat di pengaruhi oleh hubungan industrialnya. Ini menunjukkan adanya hubungan antara pekerja, pengusaha dan pemerintah dalam menjalankan operasi ekonomi dan produksi secara adil dan berkelanjutan.
Hubungan industrial di Indonesia telah mengalami perubahan seiring dengan perubahan regulasi maupun kebijakan pemerintah. Di sahkannya Omnibus Law menjadi Undang-Undang nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan salah satu perubahan paling penting dalam sepuluh tahun terakhir.
Hubungan industrial
Sebelum membahas lebih mendalam pada dampak dari omnibus law ini, kita perlu pahami terlebih dahulu tentang hubungan industrial. Hubungan industrial merupakan sistem yang mengatur tiga pihak utama, yakni: pekerja atau buruh, pengusaha dan pemerintah. Adanya sistem hubungan industrial ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang adil, seimbang dan harmonis. Sehingga kepentingan semua pihak terkait dapat terpenuhi. Dalam praktiknya, hubungan industrial mencakup beberapa elemen seperti perjanjian kerja sama, jaminan sosial, penyelesaian perselisihan, dan perlindungan hak-hak pekerja.
Hadirnya UU Cipta Kerja bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mendorong investasi dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Namun, Undang-undang ini menuai kontroversi selama prosesnya, terutama dari pekerja dan serikat buruh yang menganggap hak-haknya terkikis. Lalu bagaimana kondisi hubungan industrial di Indonesia sejak adanya UU Cipta Kerja yang menekankan fleksibilitas ketenagakerjaan, perlindungan hak pekerja, peran serikat buruh dan tanggung jawab pemerintah sebagai penengah.
Sejak di berlakukannya UU Cipta Kerja, hubungan industrial secara otomatis mengalami pergeseran paradigma. Jika sebelumnya bergantung pada keamanan dan kejelasan status kerja, sekarang berfokus pada fleksibilitas dan produktivitas. Misalnya, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) sekarang dapat di berlakukan untuk waktu yang lebih lama tanpa perlu menjadi karyawan tetap.
Selain itu, sistem alih daya (outsourcing) sekarang tidak lagi dibatasi pada jenis pekerjaan tertentu, pengurangan pesangon, dan kemudahan pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan adanya perubahan tersebut, pemerintah berharap investor asing lebih tertarik, terciptanya lapangan pekerjaan baru dan membuat pasar tenaga kerja lebih fleksibel.
Namun jika dicermati lebih mendalam, ada sisi lain yang justru merugikan pihak pekerja. Di anggap melemahkan posisi tawar pekerja dan berpotensi menimbulkan ketidakstabilan dalam hubungan industrial. Maka, demi menjaga hak-haknya sebagai pekerja atau buruh, mereka melakukan unjuk rasa dan gugatan hukum sebagai bentuk penolakan atas kebijakan UU Cipta Kerja. Ada ketidakseimbangan antara fleksibilitas ketenagakerjaan dan perlindungan. Para buruh percaya bahwa selain perlindungan pekerja berkurang, regulasi baru ini juga lebih condong memihak pada dunia usaha. Padahal guna mewujudkan lingkungan kerja yang produktif dan berkelanjutan, hubungan industrial yang sehat membutuhkan keseimbangan dan keadilan.
Masalah dalam hubungan industrial
Salah satu masalah utama dalam hubungan industrial di Indonesia adalah ketidakseimbangan kekuatan antara pengusaha dan pekerja. Idealnya, hubungan industrial bersifat tripartit dengan pemerintah, pekerja dan pengusaha dalam posisi yang seimbang. Ketika kebijakan ketenagakerjaan berubah dan memberikan keleluasaan lebih besar pada pengusaha, pekerja yang kurang mampu justru menjadi yang makin rentan. Situasi ini menyebabkan hubungan industrial tidak seimbang. Ketika pengusaha memiliki peran yang signifikan dalam menentukan kebijakan internal perusahaan, pekerja justru mengalami kesulitan dalam memperjuangkan hak-haknya terutama tanpa perlindungan serikat pekerja.
Serikat pekerja berperan penting dalam menjaga keseimbangan hubungan industrial. Mereka di tuntut untuk lebih strategis dan adaptif selama era UU Cipta Kerja diberlakukan. Mereka tidak hanya harus melakukan protes, tetapi mereka juga harus terlibat dalam perundingan bipartit, membuat perjanjian kerja bersama (PKB) yang kuat, serta memberikan pelatihan hukum kepada anggotanya.
Sayangnya, kapasitas seperti itu tidak ada di semua serikat. Masih banyak yang mengalami kendala, seperti: kekurangan sumber daya, keterbatasan akses ke informasi, dan tekanan dari manajemen.
Berangkat dari persoalan tersebut, maka peran pemerintah dan masyarakat sipil sangat penting untuk meningkatkan posisi serikat pekerja sebagai bagian dari sistem checks and balances dalam hubungan indsutrial.
Islam menawarkan solusi
Beberapa strategi berbasis nilai Islam dapat digunakan sebagai solusi dalam konteks UU Cipta Kerja dan dinamika hubungan industrial saat ini. Pertama, revisi kebijakan berbasis keadilan sosial, kebijakan ini harus mempertimbangkan secara komprehensif agar tidak timpang sebelah. Salah satu bentuk keadilan dalam Islam adalah memperhatikan orang yang tertindas. Kedua, penguatan dialog sosial, pemerintah harus memberikan ruang yang lebih adil pada masyarakat sipil dan serikat pekerja dalam berpatisipasi terkait regulasi ketenagakerjaan. Dari sudut pandang Islam, bagaimanapun, nilai-nilai keadilan, tanggung jawab sosial, dan perlindungan terhadap yang lemah harus digunakan untuk menguji kebijakan ini.
Meskipun Islam tidak menghalangi kemajuan ekonomi atau fleksibilitas kerja, ia menekankan bahwa kesejahteraan, keadilan, dan partisipasi adalah dasar dari tatanan sosial yang diridhai Allah. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang berkaitan dengan kebutuhan hidup orang banyak harus sesuai dengan prinsip maqashid syariah dan nilai-nilai moral Islam. Menurut Islam, hubungan industrial yang sehat bukan hanya tentang kontrak kerja dan upah, tetapi mencerminkan hubungan yang saling menghargai, adil, dan bertanggung jawab. Dengan cara ini, diharapkan Indonesia dapat membangun tatanan kerja yang berkeadilan secara spiritual dan sosial.(*)
Editor Notonegoro