
PWMU.CO – Dalam politik praktis, agama sering menjadi tameng untuk membungkus ambisi kekuasaan. Sebagaimana alur cerita serial TV Malaysia “Bidaah” yang viral dan di klaim telah mencapai 2,5 miliar penayangannya, mengiris realitas itu dengan pedas. Melalui kisah Walid, pemimpin sekte Jihad Ummah, yang memutarbalikkan ajaran Islam guna mendapatkan kontrol mutlak terhadap para pengikutnya. Walid (yang sebgai pemerannya adalah Faizal Hussein) menciptakan sistem berbasis ketakutan — pernikahan paksa, larangan berpikir kritis, dan doktrin buta. Namun di tengah kegelapan itu, muncul pemuda-pemuda terdidik yang berani melawan dengan akal sehat dan ayat-ayat suci sebagai senjata.
Bidaah bukan sekadar serial drama biasa. Serial ini sebagai alegori tentang bagaimana kekuasaan korup bersembunyi di balik jargon religius. Walid dengan karakter antagoniknya, memakai retorika agama untuk melegitimasi kejahatannya. Film ini bukan kisah fiktif, tapi secara kritis menyadarkan kita akan suatu bahaya ketika agama di reduksi menjadi alat represif.
Hal itu berkaitan dengan pesan Allah dalam Al-Qur’an:
وَلاَ تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Jangan campurkan kebenaran dengan kebatilan dan jangan sembunyikan kebenaran sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 42).
Di Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim, serial TV ini memantik perdebatan yang cukup ramai. Sebagian memuji keberaniannya dalam mengkritisi sikap-sikap radikalisme. Tapi sebagian pihak ada yang menudingnya sebagai bentuk penodaan terhadap agama (baca: Islam). Di Malaysia, reaksi publik jauh lebih keras, sebagian pihak bahkan meminta pelarangan untuk tayang serial itu karena di anggap menyebarkan hal yang “syubhat“. Tapi justru inilah sisi menarik film serial ini, Bidaah menjadi cermin ketakutan elite agama terhadap pertanyaan kritis.
Film ini dianggap cukup vulgar dalam mengungkap praktik-praktik manipulatif dalam komunitas religius, seperti pemaksaan nikah dan indoktrinasi. Serial Bidaah ini mengekspos tentang bagaimana “kesucian ajaran agama” yang disalahgunakan untuk menjustifikasi kesewenang-wenangan.
Bagi penulis, hadis Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam relevan dengan narasi tersebut:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
“Agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali ia akan dikalahkan.” (HR. Bukhari).
Seorang tokoh moderat, Buya Yahya — ulama kharismatik dan pemilik Pondok Pesantren Al-Bahjah — mengingatkan agar umat tak mudah mencap “bidaah” tanpa dalil jelas. Sedangkan kelompok konservatif menuding bahwa film serial tersebut sebagai bagian dari propaganda liberal. Sementara itu pakar tafsir Al-Qur’an Prof Quraish Shihab mengingatkan agar umat Islam tidak terjebak dalam “Islam melarang taklid buta. Al-Qur’an bahkan memuji ulil albab (orang yang berpikir) sebagai hamba terbaik.” (QS. Ali Imran: 190-191).
Sedangkan pakar tafsir Al-Qur’an, Prof. Quraish Shihab, mengingatkan agar umat Islam tidak terjebak dalam sikap taklid buta, dengan merujuk pada firman Allah, “Islam melarang taklid buta. Al-Qur’an bahkan memuji ulil albab (orang-orang yang menggunakan akalnya) sebagai hamba terbaik.” (QS Ali Imran 190–191).
Penulis pribadi melihat serial Bidaah sebagai sebuah alarm atau peringatan bagi siapapun untuk lebih melek dalam urusan agama dan akal sehat. Sebagaimana pesan Imam Syafii:
لَيْسَ الْعِلْمُ مَا حُفِظَ، إِنَّمَا الْعِلْمُ مَا نَفَع
“Ilmu bukanlah yang dihafal, tapi yang bermanfaat.”
Karena itu, ada 3 hal yang perlu dipahami. Satu, membiasakan berliterasi dalam agama sebagai basis maqashid syariah (tujuan syariat). Jadi bukan sekadar tekstualitas belaka. Dua, membiasakan dialog secara kritis terhadap hal tradisi dan modernitas. Dan tiga, memutus mata rantai indoktrinasi secara membabi-buta dengan memperkuat pendidikan akhlak dan intelektual.
Pentingnya menjadi generasi yang berilmu
Menyiapkan generasi yang cerdas dan terdidik memiliki peran sentral dalam melawan penyimpangan agama. Generasi muda Islam tidak cukup hanya di tuntut untuk mempelajari teks-teks suci secara mendalam, tetapi juga mampu mengkontekstualkannya dengan realitas zaman. Sebagaimana pesan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah: “Jangan hanya membaca Al-Qur’an, tetapi hayati dan amalkan dalam kehidupan nyata.” Pemikiran kritis menjadi solusi ampuh untuk membedakan antara ajaran agama yang otentik dan yang memiliki kepentingan politik tapi dibungkus dengan jargon teks-teks agama.
Film Bidaah mengingatkan kita bahwa agama sejatinya hadir untuk membebaskan manusia dari kebodohan dan penindasan, bukan justru menjadi alat kontrol yang menakutkan. Firman Allah dalam QS Al-A’raf ayat 157 menyebutkan bahwa Rasulullah menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk, serta membebaskan mereka dari beban-beban berat. Ini seharusnya menjadi prinsip dasar dalam memahami agama sebagai sumber rahmat, bukan ancaman.
Untuk mencegah penyalahgunaan agama, perlu adanya kolaborasi antara lembaga pendidikan, organisasi keagamaan Islam, dan pemerintah. Program-program literasi agama yang inklusif dan lebih mengedepankan dialog harus gencar, terutama di kalangan pemuda. Muhammadiyah dan NU, sebagai dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, harus menjadi garda terdepan dalam mempromosikan Islam moderat dan inklusif. Sebagaimana menjadi pesan dari film Bidaah, hanya dengan pendidikan dan kesadaran kritis kita bisa melawan narasi-narasi yang memelintir agama.
Akhirnya, sesungguhnya Bidaah bukan sekadar film. Bidaah menjadi cermin bagi umat Islam untuk lebih introspektif. Generasi Islam terpelajar harus menjadi pelopor dalam membongkar kebatilan yang bersembunyi di balik topeng kesucian. Dengan menggabungkan kekuatan iman dan nalar kritis, kita bisa mengembalikan agama pada khittahnya: sebagai pembawa kedamaian dan keadilan. Maka, mari kita jawab tantangan zaman dengan semangat ijtihad, bukan dengan taklid buta. Karena dengan demikian, agama akan tetap relevan dan menjadi pencerah bagi peradaban manusia.(*)
Editor Notonegoro