
PWMU.CO – Sejak belakunya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), hubungan industrial di Indonesia sedang mengalami perubahan yang signifikan. Konon UU ini bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik dan untuk meningkatkan daya saing ekonomi nasional. Namun, dalam penerapannya justru menimbulkan polemik yang serius. Terutama berkaitan dengan hal perlindungan hak-hak pekerja dan keseimbangan antara kepentingan pengusaha dan buruh.
Salah satu dampak utama dari UU Cipta Kerja adalah perubahan dalam regulasi ketenagakerjaan yang sebelumnya di atur dalam UU Ketenagakerjaan. Beberapa pasal dalam UU Ketenagakerjaan di hapus atau di ubah, termasuk yang berpotensi mengurangi perlindungan bagi pekerja. Misalnya, UU Cipta Kerja memberikan lebih banyak fleksibilitas dalam hubungan kerja yang lebih menguntungkan pengusaha, meski berisiko dapat merugikan pekerja. Dalam konteks ini, pekerja berpotensi menghadapi ketidakpastian yang lebih besar terkait status mereka. Terutama dalam hal kontrak kerja dan pemutusan hubungan kerja.
Padahal adanya UU Cipta Kerja ini harapannya dapat menciptakan lapangan kerja baru dan untuk mengurangi angka pengangguran. Kenyataannya justru sebaliknya, meskipun ada peningkatan dalam jumlah lapangan kerja, tetapi hasil dari pekerjaan yang dihasilkan sering kali tidak sebanding. Banyak pekerja terjebak dalam pekerjaan dengan upah rendah dan tanpa jaminan sosial yang memadai. Hal ini menciptakan ketidakpuasan di kalangan buruh. Mereka merasa hak-haknya tidak diakomodir dengan baik dalam kerangka hukum yang baru ini.
Peran serikat pekerja menghadapi tantangan besar pasca berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja. Berkurangnya kekuatan serikat dalam proses negosiasi menyebabkan banyak pekerja merasa kehilangan wadah untuk menyuarakan aspirasi serta memperjuangkan kondisi kerja yang adil. Serikat pekerja, yang semestinya menjadi garda terdepan dalam melindungi hak-hak buruh, kini menghadapi kesulitan dalam mengorganisir anggota serta menjalin dialog konstruktif dengan pengusaha. Situasi ini berpotensi menimbulkan ketimpangan dalam hubungan industrial, di mana kepentingan pengusaha cenderung lebih prioritas daripda kesejahteraan pekerja.
Dalam konteks perselisihan hubungan industrial, UU Cipta Kerja juga tidak memberikan solusi yang memadai. Meskipun ada mekanisme tentang penyelesaian sengketa, banyak pekerja yang merasakan tidak adanya proses yang adil karena cenderung lebih menguntungkan pengusaha. Ketidakpuasan ini berpotensi memicu konflik yang lebih besar di tempat kerja. Dan pada gilirannya berpotensi mengganggu produktivitas dan stabilitas industri.
Dalam sudut pandang hukum, UU Cipta Kerja juga menuai kritik karena di nilai tidak cukup melindungi hak-hak pekerja. Banyak pakar hukum yang berpendapat bahwa undang-undang ini lebih mengedepankan kepentingan investasi dan pengusaha. Sementara terkait perlindungan bagi pekerja menjadi bersifat sekunder saja. Hal ini dapat menciptakan ketidakadilan dalam hubungan industrial. Pekerja yang terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan dapat mempengaruhi secara langsung pada kehidupan mereka.
Meski demikian, tentu tidak semua berpandangan secara negatif terhadap UU Cipta Kerja ini. Beberapa pihak berargumen bahwa UU ini justru menjadi langkah positif dalam menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif. Dengan mengurangi alur birokrasi dan memberikan kemudahan bagi pengusaha, berharap akan ada peningkatan investasi. Harapannya, dapat menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru.
Namun, penting untuk di ingat pula bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang dengan perlindungan hak-hak pekerja dapat menciptakan ketimpangan sosial yang lebih besar. Dalam menghadapi tantangan ini, perlu adanya dialog yang konstruktif antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja. Pemerintah harus berperan aktif dalam memastikan bahwa implementasi UU Cipta Kerja tidak mengorbankan hak-hak pekerja.
Selain itu, pengusaha juga perlu menyadari bahwa keberhasilan bisnis mereka tidak hanya di ukur dari keuntungan material semata. Pengusaha juga dari sejauh mana pengusaha menjamin kesejahteraan karyawannya. Karyawan yang merasa dihargai dan dilindungi cenderung lebih produktif dan loyal terhadap perusahaan.
Ke depan, penting bagi semua pihak untuk berkomitmen dalam menciptakan hubungan industrial yang adil dan berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat peran serikat pekerja, meningkatkan transparansi dalam proses negosiasi, dan memastikan bahwa setiap perubahan regulasi tidak merugikan salah satu pihak. Dengan demikian, berharap hubungan industrial di Indonesia dapat berkembang menjadi lebih harmonis dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.(*)
Editor Notonegoro