Kolom oleh Anwar Hudijono
PWMU.CO – Dor…dor..dor. Letusan yang terjadi di saat fajar membuat warga masyarakat di dusun saya terjaga dan kaget. Warga segera berhamburan keluar untuk mencari informasi apa yang terjadi.
Melalui proses komunikasi gethok tular diketahui bahwa polisi menembak Ngadimin. Tapi Ngadimin bisa lolos. Peluru polisi hanya menerjang angin.
Ini untuk yang entah ke berapa kali Ngadimin lolos dari sergapan polisi. Pernah polisi sudah menangkapnya. Tangannya diborgol. Tapi di saat polisi meleng sedikit, Ngadimin dengan mudah melepas borgolnya dan melarikan diri. Pernah pula sudah dijebloskan ke tahanan. Lagi-lagi Ngadimin lolos hanya dengan cara membuka gembok entah dengan apa.
(Baca juga: Kiai (Honoris Causa))
Maka Ngadimin pun dipenuhi mitos bahwa dia memiliki aji welut putih dan aji lembu sekilan. Kegunaan welut putih untuk meloloskan diri dari tangkapan. Sedang lembu sekilan berkhasiat, pukulan maupun tembakan yang diarahkan kepadanya akan berhenti di jarak sekilan.
Masyarakat mempercayai setiap maling mesti memiliki ajian semacam itu karena profesi maling itu berisiko tinggi. Di samping itu, sudah terlanjur mempercayai mitos Maling Caluring dan Maling Gentiri yang memiliki sakti mondroguno.
Namun masyarakat juga memiliki keyakinan, sepandai-pandai bajing melompat akhirnya akan jatuh ke tanah juga. Wa qul jaa-al haqqu wa zahaqal baathil innal baathila kaana zahuuqaa (datanglah kebenaran dan kalahlah kebatilan karena sesungguhnya kebatilan itu pasti kalah/sirna).
(Baca juga: Makhluk Aneh: Kaki Menginjak Bumi tapi Jiwa Melayang-layang di Dunia Maya)
Ngadimin pun kena apesnya. Suatu hari dia tidur di sebuah gardu. Dia tidak tahu kalau papan gardu terbuat dari kayu waru. Padahal pantangan bagi dia merapatkan tubuhnya di kayu waru karena seluruh ajian atau ngelmunya bakal rontok.
Betul yang terjadi. Darah hitam menetes dari pori-pori tubuhnya bersamaan rontoknya ajian. Tubuhnya lemas lunglai seperti benang basah. Apesnya, polisi menerima informasi itu sehingga dengan mudah membekuknya layaknya memetik buah ciplukan.
Mitos ngelmu atau ajian kedigdayaan dan kelinuwihan bukan hanya untuk maling. Tetapi juga banyak dikaitkan dengan profesi lain seperti tentara, polisi, pebisnis bahkan politisi.
Contohnya Dipo Nusantara Aidit, Ketua CC PKI. Setelah meletus peristiwa G30S PKI, Aidit menghilang seperti ditelan bumi. Tentara dan rakyat sudah mencari ke sana ke mari hasilnya nihil. Maka merebaklah mitos bahwa Aidit memiliki aji welut putih yang tidak bisa dilihat selama sembunyi di air.
(Baca juga: Kekuasaan Presiden Tidak Powerful, Terjadi Bingung Nasional)
Tetapi inteljen memperoleh informasi Aidit sembunyi di rumah Kasim alias Harjomartono di Desa Sambeng, Solo. Tetapi ketika digerebek tentara, hasilnya nihil. Mitos pun mencuat Aidit sakti mondroguno.
Tapi tentara mengesampingkan mitos itu. Rumah itu digerebek ulang. Ternyata Aidit berhasil ditemukan di ruang rahasia dalam keadaan ketakutan layaknya tikus tersudut. Aidit kesandung apes. Dia pun ditembak mati.
Lain Ngadimin dan Aidit lain pula Setyo Novanto. Ketua DPR ini belum sampai dimitoskan memiliki aji kedigdayaan atau ngelmu kelinuwihan, meskipun pernah lolos dari jeratan hukum. Ketika KPK menjadikan dia tersangka, dia menggugat di pra peradilan dan keluar sebagai pemenang. Ketika KPK hendak menangkapnya di rumahnya, Setya Novanto tidak ada.
Hal itu merebakkan sejenis “mitos” bahwa dia memang politisi ulung, hebat, licin. Dalam dunia analogi, layaknya welut putih kecemplung oli. Sudah welut putih masih kecemplung oli, yang berarti lebih hebat lagi dari aji welut putih biasa yang dimiliki Ngadimin.
Sepandai-pandai bajing melompat akhirnya jatuh ke tanah juga. Seulung-ulung Setnov, selicin-licin dia, sehebat-hebat dia, ternyata pas kena apesnya ya apes. Betapa tidak apes. Tiang listrik yang cuma diam saja, tanpa dosa tanpa perkara, ditabrak mobil yang ditumpanginya. Dan KPK pun dengan mudah menangkapnya seperti memetik buah ciplukan.
Sidoarjo, 20 November 2017.