Sesuai perkembangan transportasi, apakah seseorang yang bepergian jauh tapi “tidak berat” harus membatalkan puasa wajib dan melakukan shalat Qashar? Apa sebenarnya yang ditekankan rukhshah safar itu: kelelahan atau jarak?
Dalam pertanyaan ini terdapat dua hal pokok yang perlu diketahui: apakah berbuka dan qashar shalat dalam safar itu wajib atau tidak? Serta apakah rukhshah tidak puasa itu karena kesulitan atau jarak? Untuk masalah yang pertama terdapat khilaf di kalangan ulama: ada yang berpendapat berbuka dan qashar itu ‘azimah yakni suatu keharusan seperti wajib. Hal itu berdasarkan keumuman hadits bahwa buka dan qashar itu adalah rukhshah dari Allah.
قاَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ الَّذِي رَخَّصَ لَكُمْ
Pergunakanlah rukhshah Allah yang telah Dia berikan kepadamu itu. (HR Muslim)
Perintah ini diartikan sebagai wajib. Sedangkan yang lain berpendapat, rukhshah di sini artinya mubah: boleh dipakai dan boleh tidak sesuai kondisi. Jadi, boleh berbuka dan boleh puasa. Juga boleh qashar dan boleh tamam (lengkap). Alasannya adalah sebuah hadits yang menceritakan tentang perjalanan Nabi dan para sahabat ke Makkah ketika fathu Makkah pada bulan Ramadhan. Ketika rombongan keluar Madinah, hampir semuanya berpuasa. Barulah setelah dalam perjalanan, ada sebagian yang berbuka dan sebagian lagi berpuasa. Satu sama lain tidak ada yang mencela dan berkomentar, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri dan Jabr bin Abdullah:
سَافَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَصُومُ الصَّائِمُ وَيُفْطِرُ الْمُفْطِرُ فَلَا يَعِيبُ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ
Kami bepergian bersama Rasulullah saw, maka di antara kami ada yang berpuasa dan adapula yang berbuka, sedang satu sama lain tidak saling mencela. (HR Muslim/Nailul Authar: 2177)
Namun setelah masuk Makkah dan menghadapi kaum kuffar yang dimungkinkan akan mengadakan perlawanan, Nabi saw menyuruh para sahabat berbuka semua. Lebih lanjut dapat dirujuk pada Terjemahan Nailul Authar jilid III, halaman 1288-1296 ). Sementara hadits yang membicarakan tentang menqashar shalat diantaranya adalah sebagai berikut:
وَعَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: خَرَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي عُمْرَةِ رَمَضَانَ فَأَفْطَرَ وَصُمْتُ، وَقَصَرَ وَأَتْمَمْتُ، فَقُلْتُ: بِأَبِي وَأُمِّي أَفْطَرْتَ وَصُمْتُ، وَقَصَرْتَ وَأَتْمَمْتُ، فَقَالَ: أَحْسَنْتِ يَا عَائِشَةُ
Kata Aisyah: Aku keluar bersama Nabi saw dalam Umrah Ramadhan. Maka Nabi saw berbuka, sedang aku berpuasa. Nabi men-qashar dan aku shalat tamam. Lalu kukatakan: Demi bapak dan ibuku, aku berbuka juga berpuasa, aku qashar dan juga shalat tamam. Maka jawab beliau: Sungguh bagus engkau, wahai Aisyah. (HR Thabrani).
Apalagi al-Qur’an hanya menggunakan kata laa junaaha (tidak salah, tidak dosa) alias “boleh” (mubah). Jadi berbuka dalam perjalanan dan qashar shalat dalam safar itu tidak wajib. Baca juga al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, oleh DR. Wahbah Zukhaili, juz II, halaman 315.
Adapun illat rukhshah tidak puasa dan qashar shalat dalam safar adalah safarnya itu sendiri, bukan kondisinya. Sehingga safar yang dalam kondisi enak dan nyaman, sesuai perkembangan transportasi yang notabene enak sekalipun, tetap tidak mengurangi rukhshah. Ini berdasar riwayat Umar bin Khaththab yang pernah bertanya kepada Rasulullah saw perihal qashar yang menurut al-Qur’an surat al-Nisa’: 101 —jika kamu khawatir diganggu oleh musuh–, tapi sekarang sudah dalam keadaan aman. Jawab Rasulullah:
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ
Ini adalah adalah sedekah dari Allah yang diberikan kepadamu. Maka terimalah sedekah-Nya itu. (HR Jamaah). Lebih lanjut bisa dibaca Fiqhus Sunnah karya Sayid Sabiq, juz I, halaman 238.