Oleh Anwar Hudijono
PWMU.CO – Butiran air mata meleleh berbarengan ketika kaki kanan saya menginjak teras Masjid Al Aqsha. Ketika saya hendak melangkah masuk ke dalam masjid, saya dicegat seorang berjubah kelabu, mengenakan kafiyeh putih bergaris jaring laba-laba corak khas Palestina.
“Maaf, hanya orang muslim yang boleh masuk masjid,” kata orang itu.
“Saya muslim,” jawab saya.
Orang itu seperti tidak percaya. Bisa ditilik dari sorot matanya yang bernada menyelidik. ”Anda orang Jepang?” tanyanya.
Giliran saya yang heran. Bagaimana mungkin saya dikira orang Jepang. Kulit saya coklat. Mata saya juga tidak sipit-sipit amat. Mungkin saya dikira Jepang gosong. Kalau yang digitukan kawan saya, Herdi, wartawan Media Indonesia, masuk akal karena kulitnya kuning, matanya sipit, dan rambutnya ngembang lamtoro.
Setelah melakukan shalat tahiyatal masjid, saya nekad shalat di mihrab. Mengajak kawan-kawan satu rombongan untuk shalat jamaah. Saya pikir, kalau saya sudah shalat pasti penjaga tidak akan tega melarang saya shalat di mihrab.
Saat shalat itulah mungkin yang pertama kali seumur hidup saya benar-benar khusyuk. Sejak takbiratul ihram air mata tidak berhenti menetes laksana gentong air gupil. Pada rakaat pertama saya sengaja membaca Surat Al Isra ayat 1-7 yang bertutur tentang peristiwa perjalanan Nabi Muhammad di waktu malam (Isra) dari Masjid Haram di Mekah ke Masjid Aqsha di Jerusalem.
Saya sangat bahagia sudah menapaktilas jejak Rasulullah Muhammad SAW. Pada sujud terakhir sengaja saya lamakan untuk menuntaskan air mata seperti seolah memeras santan. Saya rela ai mata kering untuk tumpah di haribaan mihrab Al Aqsha.
Seusai jadi imam saya mundur. Giliran kawan-kawan satu per satu melakukan shalat bakdiyah di mihrab. Mihrab itu menjadi tempat yang sangat nikmat. Terlihat, sekalipun shalat sunah, mereka bisa berlama-lama. Dan mesti menangis sesenggukan.
Setelah itu dilanjut shalat Ashar yang dijama takdim. Yang menjadi imam Jakfar Bushiri, koresponden Tempo yang ada di Kairo. Saya masih ingat, Jakfar yang asal Madura ini shalat jauh lebih lama dari saya. Dan yang pasti tidak ada makmum yang mengeluh. Apalagi ada makmum yang usul: qul-hu wae Lik (Jakfar sudah almarhum. Dia wafat saat melakukan perjalanan jurnalistik ke Arab Saudi).
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1990. Saya ke Jerusalem bersama Jakfar Bushiri, Herdi, Satrio Arismunandar (Kompas), Irawan Nugroho (Jawa Pos), Idrus (Majalah Editor), Kusnidar Nadeak (Suara Pembaruan). Nadeak tidak ikut ke Al Aqsha karena dia beragama Kristen.
Saya sendiri meskipun statusnya sebagai wartawan Kompas tapi saat itu atas nama Harian Surya karena saya sedang ditugaskan Kompas mengelola Surya bersama antara lain Valens Doy, Max Margono, Manuel Kaisiepo, Basuki Subiyanto.
Kami saat itu berada di Amman, Yordania menunggu visa ke Irak untuk melakukan liputan Krisis Teluk Pertama (Gulf Crisis) setelah Irak di bawah Presiden Saddam Hussein menganeksasi Kuwait. Amman menjadi pusat transit ribuan wartawan yang hendak masuk Irak.
Karena menunggu visa yang tidak menentu, kami berombongan berinisiatif bisa masuk ke Jerusalem. Karena Jerusalem dikuasai Israel maka mau tidak mau kami harus berhubungan dengan pemerintahan Israel. Padahal Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Bahkan menjadi catatan di paspor larangan masuk Israel dan Taiwan.
Kami menempuh jalur diplomatic bridge (diplomasi jembatan). Antara Yordania dengan Israel itu dihubungkan jembatan jalur darat. Yordania dengan Israel sebenarnya tidak memiliki hubungan diplomatik. Malahan masih dalam status perang sejak tahun 1967. Tetapi ternyata itu hanya sebatas status politik.
Lewat jembatan itu setiap hari ada ribuan turis menyeberang dari dan ke dua negara dari pelbagai pelosok dunia. Yordania juga memiliki tujuan wisata menarik seperti Bahrul Mayit atau Laut Mati, Petra, Goa Sahibul Kahfi. Israel punya tempat-tempat suci seperti Al Aqsha, Betlehem bagi umat Kristen, makam Nabi Dawud. Juga banyak tempat surga dunia seperti Pantai Jaffa dan kehidupan malam yang relatif bebas.
Kami masuk ke Israel dengan menggunakan jasa biro travel yang di Amman jumlahnya sangat banyak. Saat hendak masuk Israel kami harus melalui immigration check yang dijaga tentara. Jika di teve kita menyaksikan kejamnya tentara Israel menembaki rakyat Palestina layaknya menembaki kelinci, tetapi di diplomatic bridge mereka sangat ramah. Bahkan yang didepankan tantara perempuan yang ayu-ayu. Paspor kami diperiksa tetapi tidak disetempel. Mereka tahu tidak akan menyetempel paspor kami agar kami tidak timbul masalah kenegaraan. Sekaligus itu promosi bahwa bisa masuk Israel tanpa perlu perlu paspor distempel demi untuk menumpuk devisa.
Diplomatic bridge bukan hanya menyangkut turisme, tetapi juga kegitan ekonomi perdagangan. Buah-buahan Israel menyebar ke pelosok dunia Arab melalui jembatan ini. Sebaliknya kebutuhan Israel akan pelbagai bahan baku industri juga melalui jembatan ini. Aspek ekonomi, wisata dan duit ini paradoks dengan aspek politik di mana Israel dan dunia Arab bermusuhan. Tetapi menyangkut duit tetap cincai.
Saya tidak tahu kondisi diplomatic bridge ini sekarang. Hanya perkiraan saya, sekalipun sekarang Palestina seperti bara di dalam sekam yang dipantik oleh sikap Presiden AS Donald Trump yang mengakui Jerussalem sebagai ibu kota Israel, seperti biasa diplomatic bridge tetap lancar jaya.
Artinya arus ekonomi perdagangan, turisme, penyelundupan senjata tidak terpengaruh apa-apa. Belantika politik boleh ribut, mendidih, saling tuding dan saling bully, tetapi kepentingan duit masih tetap melenggang kangkung di atas diplomatic bridge. (*)