PWMU.CO – Orang pintar belum tentu bijak. Pernyataan Guru Besar Fakultas Hukum Unair J.E. Sahetapy itu menjadi pembuka paparan Prof Setya Yuwana Sudikan, Guru Besar Unesa Surabaya, yang menjadi dosen dalam kuliah tamu bertema ”Peningkatan Karakter Anak Bangsa Melalui Sastra”.
Acara digelar Prodi Sarjana-Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), di At-Tauhid Tower, Ahad, (23/12/17).
Prof Setya—panggilan akrabnya—mengilustrasikan sosok si Kancil. Kancil merupakan binatang yang pintar, cerdik, tapi licik. “Karakter si Kancil ini tidak cocok bagi guru,” ujarnya. Karakter si Kancil, menurut Prof Setya lebih disukai pengusaha atau politikus.
“Seorang guru tidak boleh memerankan diri sebagai si Kancil. Sebab dia harus pintar dan bijak,” tutur dia.
Dosen kelahiran Blora, Jawa Tengah, ini menjelaskan ada dua jenis sastra, yakni sastra lisan dan tulis. ”Sastra lisan itu bukan dari mulut ke mulut ya. (Kalau) itu ciuman,” katanya disambut gerrr hadirin.
Sastra lisan, jelas dia, dituturkan dari mulut, lalu ke telinga, kemudian ke mulut, ke telinga lagi.
Menurut Prof Setya, sastra lisan dibagi menjadi tiga, yang cakupannya sering tumpang-tindih, yaitu folklor, tradisi lisan, dan sastra lisan itu sendiri. Beberapa contoh folkor adalah peribahasa, pepatah, wasita, wadanan, teka-teki (pertanyaan tradisional), mite, dongeng, dan sebagainya.
”Apa yang Bapak-Ibu ketahui tentang teka-teki,” tanyanya retoris. ”Paling-paling yang Anda tahu ya pithik walik sobo kebon (ayam kebalik berada di kebun), sego sak kepel dirubung tinggi (nasi satu kepal dikerubungi tinggi),” ujarnya seperti yakin hadirin tidak punya contoh lain atau mungkin sudah lupa.
Menurut dia, sastra harus indah. “Kalau tidak indah, itu bukan sastra,” ucapnya. Meskipun, tambah dia, kadar keindahan itu pasang surut karena dasar sastra adalah multiinterpretasi. ”Kenapa dalang itu kalau suluk selalu mengeluarkan bunyi oooo… Bukan bumi gonjang-ganjing aaaa…,” ujarnya. Hadirin kembali tertawa. Prof Setya adalah pakar sastra kuno dan pewayangan.
Lantas, apa hubungan sastra dengan karakter? “Horatius pernah mengatakan bahwa hakikat sastra itu mengandung kesenangan dan pemahaman atau kegunaan,” papar Prof Setya.
Kesenangan, kata dia, salah satunya adalah menampilkan cerita yang menarik dan mempermainkan emosi pembaca.
“Sedangkan pemahaman meliputi eksplorasi terhadap berbagai bentuk kehidupan, rahasia kehidupan, penemuan dan pengungkapan karakter manusia, serta informasi yang memperkaya pengetahuan dan pemahaman pembaca. Dari situlah nilai karakter sastra muncul,” paparnya.
Prof Setya mengkritik sikap orang Indonesia yang lebih senang mengadopsi pemikiran dari Barat soal pendidikan karakter. Salah satu pakar yang sering dijadikan acuan adalah Lickona dari Amerika Serikat.
”Padahal, di Indonesia ada Ki Hajar Dewantara, Kiai Ahmad Dahlan, dan Kiai Hasyim Asy’ari, yang juga tidak kalah mumpuni soal pendidikan karakter,” tegasnya.
Bahkan, lanjut dia, nilai dari Ki Hajar Dewantara diambil oleh Lickona, kemudian dijual lagi ke Indonesia dengan ”harga” yang lebih mahal tentunya. Itu seperti kasus bahan mentah yang diimpor keluar, lantas dibeli lagi dengan harga yang lebih tinggi.
Karakter, menurut kakek bercucu tiga ini, terdiri atas tiga hal, yakni pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan (moral feeling), dan perilaku moral (moral behavior).
Prof Setya mengatakan karya sastra mengandung banyak nilai karakter. Mulai sastra zaman old sampai sastra zaman now.
Dia mencontohkan puisi sastrawan ternama Zawawi Imron berjudul Indonesia Tanah Sajadah yang berisi cinta tanah air. Ada pula puisi Salam Damai dari Fikar W. Eda yang menceritakan tentang Aceh dan keinginan berdamai. Juga dongeng Damar Wulan yang menggambarkan sikap bahwa keberhasilan harus dilalui dengan perjuangan, tidak bisa diterabas begitu saja.
Acara yang dipandu oleh Kaprodi Dr Ali Nuke Affandy MSi itu berlangsung dialogis dengan adanya beberapa pertanyaan dari peserta. Sekitar pukul 12.00 acara ditutup dan pemateri minta diputarkan lagu Using berjudul Kelangan.
Prof Setya Yuwana Sudikan ini sepertinya memang gandrung sastra-sastra daerah. (Achmad San)