Oleh Daniel Mohammad Rosyid *)
PWMU.CO – Di penghujung Januari 2018 ini kita mendengar kabar dari para petani sawit bahwa ekspor mereka dipersulit oleh Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), dengan berbagai dalih.
Sebagai balasan, para petani sawit itu kemudian menghimbau agar masyarakat Indonesia memboikot produk-produk MEE.
Kita tahu bahwa soal ini adalah perang dagang yang jarang sekali kita menangkan. Dalam kasus sawit ini perlu segera diingat bahwa nasib kelapa kita terpuruk karena perang dagang juga sehingga kelapa boleh dikatakan telah diganti sawit.
Padahal sawit bukan tanaman asli Indonesia dan jenis tanaman yang tidak bersahabat dengan lingkungan karena sangat rakus air dan rakus lahan.
Perlu juga dicatat juga bahwa penghasilan kita dari sawit saat ini sudah melampaui pariwisata dan migas.
Kasus sawit ini sebagian menunjukkan betapa kita sangat tergantung ekspor. Selama kita gagal mengolah sawit mentah menjadi produk bernilai tambah tinggi, maka kita akan tetap tergantung ekspor sawit mentah atau minyak sawit mentah.
Padahal pasar dalam negeri kita bisa dibesarkan dengan mengolah sawit menjadi berbagai produk turunan lain dengan nilai tambah tinggi untuk pasar dalam negeri.
Harus segera diingat bahwa di era penjajahan dahulu, para penjajah itu menjarah berbagai komoditi kita untuk dijual ke Eropa. Melalui penjajahan itu mereka memeroleh berbagai komoditi itu dalam harga yang sangat murah melalui proses produksi primer murah yang setara dengan perbudakan.
Gejala ketergantungan ekonomi kita pada ekspor komoditi berharga rendah (harganya bahkan ditentukan oleh New York, London atau Amsterdam) itu adalah gejala era kolonial yang tidak banyak berubah hingga saat ini.
Scopus, kolonialisme baru?
Sebagai insan universitas, saya melihat ada semacam analogi antara ekspor dan Scopus—sebuah pangkalan data ilmiah yang dimiliki oleh Elsevier dan berkantor pusat di Amsterdam.
Kinerja dosen perguruan tinggi saat ini juga ditentukan oleh publikasi terindeks Scopus. Ini sama saja dengan ekspor yang harus memenuhi standard Eropa. Seorang dosen dinilai tidak produktif jika tidak mengekspor tulisan hasil penelitiannya ke Jurnal Internasional yang terindeks Scopus.
Ekspor hasil-hasil dan data-data penelitian ke Jurnal Internasional terindeks Scopus ini menunjukkan satu keanehan dengan derajat yang meninggi.
Pertama, kita secara sukarela bahkan dengan membayar, menyerahkan hasil-hasil penelitian kita ke orang asing. Padahal dahulu para penjajah itu harus melakukan penelitian sendiri ke tanah jajahan tersebut.
Kedua, kita bahkan semakin tergantung pada penilaian orang asing untuk menilai kinerja ilmiah kita.
Saya harus mengatakan bahwa ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, dalam perang asimetris saat ini.
Jika ketenaran seseorang peneliti diukur melalui indeks Scopusnya, seorang rekan peneliti muda saya mengatakan bahwa ketenaran itu membuat ikhlas makin sulit.
Masalahnya adalah ajaran bahwa ketenaran itu penting sudah menyusupi benak kita saat perankingan dimulai di sekolah. Mereka yang rankingnya tinggi adalah para jawara, dan yang rankingnya rendah adalah para pecundang.
Penilaian kinerja melalui perankingan bertahun-tahun ini telah menyebabkan sebuah deprived emotional dependance yang luas—setara dengan Kejadian luar biasa—di mana hampir setiap orang bingung kalau tidak diranking, lalu segera merasa menjadi pencundang jika rankingnya di bawah.
Jika keikhlasan itu adalah kesetiaan pada bakuan prosedur operasional, lalu bersabar itu adalah istiqamah pada tujuan, maka perankingan dalam berbagai bentuk yang dilakukan oleh orang asing atas kita, harus kita sikapi dengan lebih santai kalaupun masih peduli.
Oleh karena itu kita perlu bersabar agar kesempatan ikhlas kita bisa lebih baik jika kita menguatkan pasar domestik dengan produk bernilai tambah tinggi melalui hilirasi hasil-penelitian kita dari pada sibuk menyerahkan data dan hasil penelitian kita demi melayani perankingan orang asing. [*]
Sukolilo, 29 Januari 2018
*) Daniel Mohammad Rosyid adalah Guru Besar ITS Surabaya.
Discussion about this post