Sudah tentu penilaian buruk para komentator terhadap zaman jahiliyyah itu memang tidak bisa dipersalahkan. Sebab, tidak sedikit fakta yang menunjukkan masyarakat Mekkah pra-Islam yang terlibat dalam berbagai aksi yang tidak berperketuhanan dan perikemanusiaan.
Tidak heran jika salah satu sabda termasyhur Nabi Muhammad SAW tentang misi pengutusannya adalah memperbaiki akhlak umat manusia. “Innamaa bu’itstu li-utammim makaarim al-akhlaak,” begitu bunyi hadits Nabi yang termaktub dalam “Syu’b al-Iman li al-Baihaqiy”, Juz 17, karya Imam Baihaqi. Terjemahan bebas dari sabda Nabi ini adalah “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”.
Teks ini secara tersirat menunjukkan ada kebobrokan moral di kalangan masyarakat saat itu sehingga perlu diperbaiki. Namun, nash ini tentu tidak bisa menjustifikasi semua kerusakan masyarakat Mekkah pra-Islam. Sebab, bukti sejarah juga menyatakan adanya berbagai kebajikan yang dilakukan oleh masyarakat Mekkah.
Dalam sejarah manusia, Mekkah adalah sebuah kota kuno yang mulai dikenal sejak zaman Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim (QS al-Baqarah [2]: 127). Kedua Nabi anak-ayah ini dikenal sebagai perenovasi Ka’bah, rumah Tuhan yang dibangun oleh manusia pertama di bumi, Adam sebagaimana terabadikan dalam al-Quran surat Ali Imran ayat 96.
Catatan tertulis pertama yang menceritakan Mekkah berasal dari abad ke-5. Tepatnya, saat Ptolemy menyebut kota ini dengan Macroba dalam bahasa Aram, atau Mekkah dalam bahasa Babilonia. “Penyebutan Mekkah semula untuk menandai keberadaan bayt Allah, yang lama-kelamaan menjadi sebutan wilayahnya,” begitu jelas penulis buku “babon” sejarah Arab, History of the Arabs, Philip K. Hitti. (Adapun penghuni Mekkah dikenal dengan kaum Quraisy, bisa dibaca di sini: Suku yang Diabadikan sebagai Nama Surat al-Quran, Berikut 6 Asal Muasal Penyebutan Quraisy)
Penyebutan Ptolemy sejak abad ke-5 ini menunjukkan Mekkah dengan bangunan Ka’bah menjadi pusat agama jauh sebelum Muhammad lahir. Kota ini selalu didatangi oleh berbagai suku dari seluruh penjuru Arab, paling tidak setahun sekali pada saat musim haji.
Untuk menghormati orang-orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, masyarakat setempat bersepakat meniadakan peperangan dalam bulan Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. “Penghormatan terhadap bangunan berbentuk kubus ini juga terlihat dari kesepakatan mereka yang menghindarkan medan peperangan dari area sekitar Ka’bah,” lanjut Hitti.
Tidak hanya dalam masalah keagamaan, Mekkah sejak jauh hari juga memainkan peran penting dalam berbagai bidang kehidupan lainnya di seluruh Jazirah Arab. Ia menjadi kota terpenting dalam kegiatan perdagangan, sebagai kota yang dilewati jalur antar-negara.
“Jalur pertama menghubungkan Mekkah dengan Yaman-India-Syria, sementara jalur lainnya menuju Iraq, Iran, and Eurosia yang berlanjut hingga Ethophia dan Afrika Timur,” terang Marshall G.S. Hodgson dalam The Venture of Islam: Conscience and History in a WorId Civilization.
Posisi strategis sebagai pusat agama dan perdagangan, membuatnya menjadi tempat sakral yang sekaligus dikunjungi. “Dikunjungi oleh bangsa-bangsa Arab dan non-Arab untuk beribadah haji maupun berdagang,” terang Zuhairi Misrawi tentang kondisi Mekkah periode sebelum kelahiran Nabi Muhammad dalam bukunya “Mekkah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim”.
Lantas apa saja nilai-nilai kebajikan masyarakat Mekkah zaman Jahiliyyah yang masih bisa diambil intisarinya untuk kehidupan kekinian? Salah satunya tentang ini: Percaya Allah Sang Pencipta: Sisi Terang dalam Gelap Masyarakat Mekkah Zaman Jahiliyyah (2). (muh kholid as)