Umar bin Khattab, Khalifah Rasyidah kedua, katanya pernah melafadzkan doa yang aneh. Dia panjatkan kepada Allah agar dimasukkan ke golongan, alih-alih mayoritas, justru minoritas yang dipilihnya. Potongan ayat dan doa Umar mengingatkanku pada Arnold Joseph Toynbee, sejarahwan berkebabangsaan Inggris yang masyhur dengan beberapa publiksinya yang monomemtal, antara lain A Study of History. Dari Toynbee yang juga menulis buku tentang sejarah umat manusia, aku mengingat konsep tentang “creative minority“.
Dengan penafsiran ala kadarnya, ayat 249 tadi mengingatkan pada konsep ini. Bukan mayoritas, tetapi minoritas yang kreatif yang berpengaruh dan memenangkan kontestasi dalam beragam aspek. Seorang kawan rupanya galau dengan gambar yang melesat cepat lewat medsos Whatsapp, besutan imigran Ukraina yang Yahudi dan menetap di Amerika Serikat, Jan Kaum.
Kawanku mengunggah gambar seorang pemilik TV swasta yang berpenampilan tidak ubahnya seorang Muslim yang dikerubuti santri, padahal dia tidak bisa dimasukkan dalam statistika populasi Muslim di Indonesia. Di jejaring TV yang dikuasainya, dia dengan begitu leluasa membesut iklan untuk mendongkrak citra dan segmentasi dirinya, tentu terhadap muslim yang mayoritas.
Jauh sebelum menikmati gambar yang menyebar selepas shubuh waktu Indonesia bagian barat, saya pada telah lama mengikuti aliran “meme” dan pesan yang cenderung negatif tentang seorang gubernur beretnis minoritas tapi dengan jumlah pendukung yang fanatik. Gubernur yang nantinya disebut petahana, kalau betul menjadi kandidat gubernur pada pertarungan panggung pilgub di Ibu Kota Negara kita tahun 2017 nanti, membuat galau kelompok mayoritas yang hingga tulisan ini dibikin, masih bingung menentukan bakal lawan sebanding yang mampu “head to head” dengannya. Sepertinya golongan mayoritas tiba-tiba dihadapkan pada krisis persediaan pemimpin yang bisa menyaingi, lalu tampil menggantikannya.
Akar masalahnya, aku kira terletak pada “mental block“, entahlah apa itu sentimen golongan di kalangan internalnya sendiri sehingga layaklah kalau kita dibilang sebagai kelompok dengan mental low trust, jika meminjam konsep Francis Fukuyama. Apakah sama sekali jarang atau bahkan nihil, sekedar menentukan seorang tokoh yang mampu bertanding dengannya secara “head to head“.
Aku kira karena kita telah terbelenggu pada krisis “trust” yang begitu parah, sebagai akar yang mengakibatkan tiba-tiba kita merasakan mengalami kevakuman tokoh yang bisa diterima, bahkan oleh kelompoknya sendiri. Ini mental jelek kaum mayoritas. Belum lagi mental jelek lainnya seperti mudahnya membuat musuh dari luar secara imajiner, padahal musuh yang sebenarnya adalah dirinya sendirinya.
***
Dari kursi meja kursi di ruang kantorku, aku duduk tegak seperti menyerupai orang yang sedang meditasi. Aku memejamkan mata yang basah dengan air mata. Shalat Shubuh di Masjidil Haram yang kudengar melalui TV berlangganan di kantor pagi tadi, hampir usai. Aku tetap dalam suasana meditatif. Aku seperti tidak mau meninggalkan Ka’bah, kendati bukan fisikku yang merapat.
Kalau saja Mas Irji’i, staf paling sibuk dalam mengatur “flow” surat yang keluar/masuk dari kantorku tidak datang, mungkin aku masih tetap dalam posisi demikian, setidaknya beberapa menit selepas shalat Subuh di masjid yang selalu menjadi jujukan jutaan muslim dari berbagai sudut dunia. (*)
Kedai Bakso Perpustakaan UMM Kampus Tiga, 28/4/2016
Kolom Syamsul Arifin, Guru Besar dan Wakil Rektor 1 Universitas Muhammadiyah Malang.