PWMU.CO-Penerapan full day school berpengaruh besar terhadap pola pikir dan perilaku siswa. Siswa yang menghabiskan waktu sembilan jam di sekolah secara sosial berdampak kepada pembentukan perilaku.
Itulah hasil penelitian tiga siswa SMP Muhammadiyah 12 GKB Gresik meneliti dengan kajian objek anak yang bersekolah program full day school. Tiga peneliti itu adalah Adibah Dian Septya, Aulia Virna, dan Salsabila Meutia. Penelitian ini dengan bimbingan pembina LPIR Ustadzah Imroatus Sani SPd.
Penelitian berjudul Pengaruh Lingkungan Sekunder terhadap Pola Pikir dan Perilaku Anak sebagai Implikasi Full Day School menguraikan tentang pengaruh dan solusi yang harus dilakukan ketika anak secara pola pikir dan perilaku ada perubahan pada garis yang semestinya.
Baca juga: Dinobatkan sebagai Siswa Berprestasi, Siswi SMPM 12 GKB Ini Beberkan Pengalamannya
“Kita meneliti bagaimana implikasi full day school terhadap pengaruh lingkungan sekunder siswa,” papar Adibah Dian Septya, siswa yang duduk di bangku kelas 8. “Penelitian ini membahas tentang pengaruh terhadap pola pikir dan perilaku, serta pengaruh teman di sekolah,” katanya sambil menunjukkan karya tulis ilmiahnya, Senin (2/4/18).
Hal senada juga disampaikan Aulia Virna, rekannya. Menurut siswa yang hobi membaca novel, penelitan ini untuk bisa melihat secara langsung bangaimana pengaruh terhadap pola pikir siswa. Karya yang diikutikan dalam Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) tingkat kabupaten dan nasional ini bisa digunakan sebagai gambaran bagaimana pendapat dari para responden yang diteliti.
Penerapan full day school ada hal yang menarik terhadap karakteristik anak. Ketika sembilan jam mereka belajar di sekolah selama lima hari dalam sepekan, pola pikir dan juga perilaku anak banyak yang terpengaruh oleh lingkungan sosial, yaitu teman. Baik itu berdampak positif maupun negatif dalam pola pikir dan perilakunya.
Penelitian yang diambil dari 91 responden siswa, baik level SMP dan SMA dengan usia 12-18 tahun. Responden yang paling banyak adalah siswa kelas 7 dan 8 usia 13 tahun yang mencapai 42 persen di lima sekolah berbeda.
Dalam proses sosialisasi, setiap anak akan melalui tahapan pada lingkungan primer, yaitu dimulai dari lingkungan keluarga. Pada tahapan berikutnya yaitu lingkungan sekunder, yaitu anak secara individu belajar lebih banyak akan peran-peran dalam masyarakat. Selain itu mereka juga telah mengerti akan peran diri sendiri dan orang lain.
Memasuki dunia sekolah, keluarga tidak lagi menjadi satu-satunya tempat sosialisasi bagi anak. Memiliki hubungan penting dengan lingkungan sekitar menjadi kebutuhan yang penting mengingat bahwa anak sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri.
Hasil penelitian menunjukkan tingkatan hubungan responden dengan teman di sekitarnya 93 persen memiliki hubungan baik sedangkan 7 persen lainnya tidak memiliki hubungan baik.
Hal ini menunjukkan responden memiliki hubungan baik dengan lingkungan sekitar. Maka tindakan dan cara berpikir mereka dapat dipengaruhi oleh lingkungan sekundernya, baik lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, maupun lembaga yang bersifat nonformal seperti tempat les. Hal ini terbukti dari sebanyak 7 persen responden menjawab bahwa teman memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan mereka.
Terkait dengan pengaruh teman, full day school juga memberikan efek. Hal ini dibuktikan 45 persen responden memberikan penjelasan bahwa teman juga memberikan dampak buruk pada diri anak, sedangkan 55 persen responden menyatakan bahwa teman tidak memberikan dampak buruk. Dari data ini menyatakan bahwa lingkungan sekunder memberikan pengaruh dalam pola pikir baik negatif maupun positif.
Anak dapat mengalami perubahan perilaku apabila lingkungan yang ia tinggali memberikan suatu faktor yang besar seperti tipe perilaku orang-orang atau individu dalam lingkungan tersebur yang berbeda-beda, sehingga banyaknya informasi yang didapat dan perilaku-perilaku yang secara tidak sengaja dan otomatis ditiru oleh anak.
Cara kerja otak anak yang bersifat meniru sesuatu yang dilihat dan didengar merupakan faktor utama. Faktor inilah yang menjadi pintu masuknya berbagai perilaku atau pola pikir yang berbeda-beda dari lingkungan tersebut yang masuk kedalam pola pikir anak. Namun, hal ini dapat dipungkiri dengan adanya respon dari sang anak terhadap lingkungannya.
Lingkungan primer atau keluarga adalah tahap pertama sebelum memasuki lingkungan sekunder. Di mana seluruh hal kecil, bahkan perkembangan pola pikir dan perilaku didasari oleh lingkungan primer. Apabila lingkungan primer yang diciptakan adalah lingkungan yang positif, maka pola pikir dan perilaku anak akan menjadi positif dan begitu pulasebaliknya. Biarpun begitu satu-satunya yang berperan besar dari lingkungan primer ini adalah keluarga inti terutama orang tua.
Sistem pergaulan ini adalah pemicu utama dari perubahan pola pikir dan perilaku seorang individu. Adanya pola pemikiran yang telah dibahas sebelumnya, termasuk berpengaruhnya teman atau lingkungan sekitar terhadap keputusan yang diambil mencerminkan bahwa hal ini akan berpengaruh pada tindakan yang melakukan.
Ada 77 responden atau 85 persen menunjukkan bahwa kebiasaan anak berubah sejak mereka memasuki usia sekolah. Kebiasaan yang berubah setelah memasuki usia sekolah dapat diartikan bahwa lingkungan sekunder mereka berpengaruh pada perilaku atau kebiasaan yang mereka lakukan. Hanya 15 persen atau 14 siswa yang mengatakan keberadaan full day school tidak menunjukkan pengaruh.
“Selain meneliti tentang pengaruh pola pikir dan perilaku anak, kami juga meneliti bagaimana cara mengatasi pengaruh negatif lingkungan sekunder dari belajar dengan sistem full day school,” ungkap Salsabila Meutia. “Maka, solusinya adalah intensitas dan kualitas pengaturan waktu dengan keluarga,” tambah siswa yang aktif di IPM ranting SMP Muhammadiyah 12 GKB Gresik ini, cekatan.
Cara mengatasi pengaruh negatif lingkungan sekunder adalah hal yang mudah namun sulit untuk dilakukan. Oleh karena, untuk mengatasinya butuh pendirian yang kuat. Apabila mindset individu yang negatif tidak dapat diubah, maka kemungkinan nihil untuk mengatasinya. Namun, bukan berarti tak bisa diatasi.
Hasil penelitian, 58 responden atau 61 persen memberikan jawaban bahwa solusi dengan menghabiskan waktu dengan keluarga sedangkan 33 responden atau 39 persen banyaknya waktu dengan teman.
Data penelitian perihal pola pikir dan perilaku anak, peneliti membuat tiga simpulan. Pertama, dengan memberikan keyakinan, kepercayaan dan motivasi yang kuat. Dengan adanya motivasi dan dukungan dari lingkungan sekitarnya, maka pola pikirnya akan mulai terbuka dan dapat mencerna informasi dengan baik.
Kedua, dengan diberikannya ilmu. Ilmu disini adalah bagaimana cara kita menanggapi lingkungan. Dengan diberikannya pengarahan-pengarahan dalam melakukan sosialisasi, sistem kerja otak dalam menghadapi lingkungan sekunder akan berubah. Selain itu pendidikan adalah hal terpenting dalam membentuk suatu pola pikir yang positif.
Ketiga, penggunaan emosi yang stabil. Menggunakan emosi memanglah hal yang wajar bahkan hampir setiap perilaku dan pola pikir turut menggunakan emosi. Hal ini terjadi dikarenakan feeling yang dapat memberikan dua konsep atau lebih pernyataan dan jawaban dari suatu permasalahan atau persoalan yang terjadi dalam lingkungan sekunder atau sekitar. Namun, jangan sampai terbawa oleh emosi.
“Dengan tiga tahap tersebut individu dapat mengatasi pengaruh negatif lingkungan sekunder. Mencegah pengaruh negatif harus dilakukan dengan kesadaran dan sudah pastinya karena pola pikir individu itulah yang memberikan efek terhadap lingkungan sekunder atau lingkungan sekitarnya terhadap individu tersebut,” ujar Adibah Dian Septya, ketua LPIR ini. (Ichwan Arif)
Discussion about this post