PWMU.CO – Selain wilayah yang banyak dikunjungi orang untuk beribadah di Ka’bah, Mekkah secara ekonomi juga cukup menguntungkan sebagai jalur perdagangan internasional. “Tidak hanya sebagai tempat transit, pemuka Mekkah juga melebarkan sayap perdagangannya hingga keluar daerah,” tulis Masrshal G.S Hodgson dalam The Venture of Islam: Conscience and History in a WorId Civilization. Volume One: The Classical Age of Islam.
Puncak kejayaan perdagangan masyarakat Mekkah ketika wilayah ini di bawah kepemimpinan Hasyim bin Abd Manaf bin Qushay bin Kilab. Dia mengorganisir pedagang Mekkah dalam kafilah besar dengan dua rute yang terjadwal. Kafilah berangkat ke Yaman-Ethiopia saat musim dingin, dan pada musim panas menuju Syria, Palestina, hingga Ankara di Turki. Perjalanan yang lebih efisien dan efektif inilah yang lantas diabadikan oleh Allah swt dalam salah satu surat Alquran, QS Quraysh.
Untuk menjaga keamanan perjalanan kafilah, masyarakat Mekkah harus bisa membuat perjanjian dengan penguasa wilayah yang dilewatinya. Konsekuensi logisnya, pemuka Quraisy harus menemui penguasa setempat dan mendapatkan jaminan keamanan. Kehebatan diplomasi diperlihatkan dalam membangun kerja sama “lintas negara” dengan wilayah yang luas tersebut.
Untuk misi pertama, Hasyim sendiri yang menemui pemimpin Palestina-Syria (Syam), sebuah wilayah yang saat itu masih menjadi bagian dari kekuasaan Byzantium Romawi. “Setelah melakukan diplomasi yang memakan waktu berhari-hari, akhirnya Hasyim bisa mendapat jaminan bahwa pedagang Mekkah tidak akan mengalami gangguan saat masuk wilayah itu,” tulis ‘Awathif Adib Ali Salamah, dalam Quraisy Qabl al-Islaam: Dawruhaa al-Siyaasiy wa al-Iqtishaadiy wa al-Diiniy.
Tidak ada keterangan valid berapa hari yang dibutuhkan untuk menyelesaikan urusan diplomasi ini. Kebanyakan catatan sejarah justru menggambarkan bagaimana upaya Hasyim agar penguasa setempat mau menemuinya. Dikabarkan Hasyim mengumbar kedermawanan dengan cara menyembelih hewan ternak untuk dibagikan dan dimakan oleh warga setempat. “Setelah berhari-hari, barulah raja setempat mendengar kabar ini, sehingga memanggil Hisyam ke hadapannya,” begitu lanjut ‘Awathif.
Kesuksesan ini dilanjutkan dengan kebijakan Hasyim yang mengutus saudara-saudaranya ke berbagai wilayah yang dilewati maupun tujuan pedagang Mekkah. Selain menjadi pemimpin kafilah, tulis ‘Awathif, saudara-saudaranya itu juga membawa misi diplomatik untuk mengamankan kepentingan dagang masyarakat Mekkah. “Diawali dengan keberhasilan ‘Abd al-Shams membangun perjanjian dengan raja Ethiopia, disusul kemudian Muthalib dengan penguasa Yaman, serta Nawfal dengan raja Iran.”
“Di kemudian hari, masing-masing diplomat itu juga menjadi pemimpin kafilah yang berdagang ke wilayah dimaksud,” tegas M. Quraish Shihab dalam Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih.
Mekkah berhasil menjalin hubungan perdagangan dengan dua kekuatan politik yang saling bertentangan, Bizantium Romawi dan Persia tanpa memihak ke salah satu di antara keduanya. Kemahiran berdiplomasi ini tampaknya memang menjadi kepiwaian masyarakat Mekkah, tak terkecuali menurun pada Nabi Muhammad SAW. Contoh mudahnya adalah saat Nabi meberi jawaban berbeda dari pertanyaan para sahabat yang berlainan dan waktu berbeda tentang amal terbaik.
Pada satu waktu Nabi menempatkan shalat pada waktunya pada posisi pertama dalam urutan amal terbaik (al-Bukhariy Juz 9, hadits nomor 2.574). Tetapi di kesempatan lain juga pernah menyatakan amal terbaik adalah memberi makan dan menyebarkan salam kepada orang yang dikenal maupun tidak dikenal (al-Bukhariy Juz 1, hadits nomor 11), membuat orang lain merasa aman dari lidah dan tangannya (al-Bukhariy Juz 1, hadits nomor 10), berpuasa (al-Nasa-i, Juz 7 hadits nomor 2.192), dan percaya pada Allah (al-Bukhariy Juz 1, hadits nomor 24).
Sudah tentu jawaban yang disodorkan Nabi tersebut bukan karena ketidakkonsistenan, melainkan sebuah misi diplomasi yang disesuaikan dengan keadaan orang yang bertanya serta keadaan kelompok masyarakat sebagai jawabannya.
Hubungan diplomasi lintas wilayah, sekaligus pusat agama dunia, membuat masyarakat Mekkah berhubungan dengan ragam manusia lintas suku-negara. Perdagangan dan diplomasi lintas penguasa itu menunjukkan kemampuan masyarakat Mekkah untuk melakukan komunikasi dengan bangsa-bangsa lain. Perjanjian saling menguntungkan beda kekuatan-wilayah itu juga menunjukkan adanya warga Mekkah yang menguasai bahasa asing sehingga menjadi juru bicara dengan pihak asing.
Masyarakat Mekkah tidak memiliki tradisi belajar-mengajar dalam makna baca-tulis, tetapi mereka mengenal pembelajaran yang menggunakan riwayat dan hapalan. Metode belajar mereka dilakukan dengan cara bertanya kepada orang-orang terpelajar, baik tentang fenomena alam, sosial-budaya, bahkan masalah kejiwaan.
Meski demikian, mereka tetap saja tidak mau mengandalkan baca-tulis, dan menjadikan hafalan sebagai tolak ukur kecerdasan dan kemampuan seseorang. Pada gilirannya, menulis dianggap sebagai “aib” bagi mereka sehingga sebisa mungkin dihindari, atau minimal tidak diketahui seseorang saat sedang menulis.
Pandangan negatif masyarakat Mekkah terhadap akivitas menulis ini terlihat pada mahfudzat (kata mutiara) yang berbunyi “innahu ‘indana ‘ayb”. “Sesungguhnya (kemampuan menulis) di kalangan kami adalah aib,” tulis Ibn Qutaybah al-Daynuuriy, dalam Majaaz al-Quran Juz I.
Pembelajaran tidak langsung juga dilakukan oleh masyarakat Mekkah yang melakukan perjalanan dagang, serta mempelajari –langsung maupun tidak langsung– berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang di daerah yang dilewati mauun kota tujuan. Ilmu yang diperoleh itu lantas dipraktikkan saat kembali ke Mekkah.
“Secara umum perjalanan itu memang tidak menghasilkan pengaruh dalam bidang ilmiah, kecuali hanya sedikit sekali karena memang hanya hasil perenungan, pengamatan sepintas, dan atau trial and error,” jelas M. Qurais Shihab dalam Mukjizat Al-Quran Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib.
“Di antara pengetahuan-pengetahuan “import” yang berkembang di adalah astronomi, meteorologi, mitologi dan sejarah umat sekitar, ilmu perdukunan, dan pengobatan,” lanjut Qurais Shihab. Astronomi terbatas pada penggunaan bintang untuk petunjuk jalan atau mengetahui musim, sementara meteorologi untuk mengetahui keadaan cuaca dan turunnya hujan.
Adapun ilmu kedokteran dipelajari dari bangsa Babilon yang memang telah punya pengalaman banyak dalam mencatat berbagai cara (percobaan) penyembuhan. Ihwal perkembangan ilmu Kedokteran Babilonia ini awalnya dilakukan dengan cara menempatkan orang-orang sakit di tepi jalan.
Kemudian mereka menanyakan kepada siapapun yang melalui jalan itu tentang obatnya, lalu dicatat. “Ilmu kedokteran dari bangsa Babilon diambil oleh bangsa lain, termasuk oleh orang Mekkah,” jelas Samsul Munir Amin dalam Sejarah Peradaban Islam. (paradis)
***
Selain membaca tulisan ini, sebaiknya para pembaca PWMU.CO tulisan bagian 1 dan 2. Hal ini agar pembaca bisa memahami secara utuh maksud tulisan ini, tanpa penyederhanaan –yang terkadang menyesatkan. Tulisan yang dimaksud adalah link sebagai berikut:
(a). Suku yang Diabadikan sebagai Nama Surat al-Quran, Berikut 6 Asal Muasal Penyebutan Quraisy. (b). Zaman Jahiliyyah tapi Berkebajikan: Sisi Terang dalam Gelap Masyarakat Mekkah sebelum Islam (1), dan (c). (Kafir) yang Percaya Allah Sang Pencipta: Sisi Terang dalam Gelap Masyarakat Mekkah Zaman Jahiliyyah (2).