PWMU.CO – Masjid yang menjadi saksi perjuangan dakwah Muhammadiyah belasan tahun itu memang masih terlihat kokoh berdiri. Namun, lokasinya yang berada di perbukitan dengan struktur tanah yang bergerak, membuatnya mulai ringkih. Longsor yang “akrab” di wilayah itu mulai mengancam kokohnya bebatu-bataan dan juga tiang-tiang penyangga masjid.
Al-Falah. Itulah nama masjid yang kini sedang terancam longsor. Tanah yang menjadi pijakan bagi tiang-tiang masjid itu mulai tergerus. “Curah hujan yang masih tinggi di daerah ini membuat kepadatan tanah, yang menjadi pijakan masjid longsor,” cerita Juminto kepada PWMU.CO, Rabu sore, (11/4/2018).
Masjid Al-Falah yang berlokasi di Desa Ketro kecamatan Tulakan Pacitan ini bukan tempat biasa. Ia menjadi saksi bagaimana faham Muhammadiyah bisa memasyarakat di ujung Pacitan itu. Butuh perjuangan yang cukup lama untuk meyakinkan masyarakat setempat, bahwa Muhammadiyah bukan sebagaimana yang mereka bayangkan.
Juminto, alumnus Alumni Panti Asuhan Tunanetra Terpadu Aisyiyah Ponorogo tahun 2007 adalah salah satu pemeran penting gerak dakwah ini.
Saat itu Juminto masih duduk di kelas 1 Madrasah Aliyah Muhammadiyah (MAM) I Ponorogo bertekad mendirikan masjid di desa kelahirannya. Mulailah pembangunan masjid al Falah di tahun 2004. “Tahun 2004 saya mulai membangun masjid. Dananya dari urunan keluarga dan donatur. Ada yang infak batu, batu bata, semua kami terima,” ungkap Juminto mengawali kisahnya.
Struktur tanah yang tidak rata menjadi alasan utama masjid tidak luas. Sehingga luas bangunan masjid hanya 6 x 11 meter persegi.
Pada pertengahan 2005, 70% bangunan masjid rampung. “Waktu itu dana sudah habis, dan 70% bangunan masjid telah selesai,” terang suami dari Eris Hermawati ini.
Untuk segera merampungkan pembangunan masjid, Juminto muda berinisiatif mencarikan kekurangan material dengan mencoba mengirimkan surat permohonan ZIS. “Alhamdulillah, pembangunan masjid rampung 2005.”
Di masjid itu Juminto mengajak anak-anak sekitar untuk belajar mengaji. Mengajak seluruh warga untuk shalat berjamaah dan mengikuti pengajian.
Semua yang dilakukan Juminto bukan tanpa kendala. Penolakan demi penolakan masyarakat pun diterimanya. “Ada beberapa warga yang tidak senang dengan berdirinya masjid ini,” tutur Juminto.
Menurut Juminto, alasan penolakan masyarakat karena masjid al Falah berpaham Muhammadiyah. “Banyak yang beranggapan bahwa orang Muhammadiyah itu keras dalam agama, tidak mau yasinan, tidak mau memperingati kematian, dan lain sebagainya.”
Namun keadaan tersebut tidak menyurutkan semangat Juminto. “Kami terus berupaya membuktikan kepada mereka bahwa prasangka buruk mereka itu tidak benar.”
Pada awalnya ayah dari Fazila Alya Salsabila dan Farzana Mumtazah Salsabila ini masih mengikuti kegiatan rutin masyarakat.” Dalam hati kecil ada rencana untuk merubah beberapa tradisi yang sangat kental di masyarakat yakni kegiatan yasinan.”
Dengan berjalannya waktu, rutinitas masyarakat yang dulunya yasinan berubah menjadi al- Kahfian (membaca surat al-Kahfi).
Selain itu, pria kelahiran 3 Juni 1988 ini juga mengusahakan banyak program untuk masyarakat. Selain mengupayakan penyelesaian pembangunan masjid, Juminto juga melakukan pengajuan hewan atau daging kurban ke Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Ponorogo untuk di distribusikan kepada masyarakat sekitar masjid.
Tidak hanya itu, Juminto yang saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Universitas Muhammadiyah Ponorogo (Umpo) ini berhasil merealisasikan pembangunan kelas Taman Pendidikan al-Quran (TPA) dan pelepasan tanah untuk pengembangan pesantren.
“Dari situlah masyarakat mulai sadar dan terbiasa dengan Muhammadiyah, mereka menilai bahwa orang-orang Muhammadiyah itu ternyata loyal dalam hal kebaikan,” terangnya.
Saat ini Masjid Al-Falah berada satu atap dengan Pesantren Bidayatus Salam (BISA). Namun, kondisinya sudah lumayan membahayakan jamaah untuk beraktivitas. Sebab, longsor sewaktu-waktu bisa merobohkan masjid ini. (arifah)