PWMU.CO – Ustad Menachem Ali menegaskan bahwa Hajar, istri Nabi Ibrahim, bukanlah seorang budak melainkan anak Raja Mesir Firaun. Menempatkannya sebagai budak adalah penghinaan besar terhadap Hajar yang merupakan nenek moyang Nabi Muhammad. Sayangnya banyak ustad atau kiai yang terlanjur berpandangan Hajar adalah budak.
Manachem Ali, dosen Ilmu Budaya FISIP Universitas Airlangga Surabaya, mengedepankan hal itu dalam penganjian di Masjid Al Millah, Sidoarjo, Sabtu (14/4/18).
Penjelasan bahwa Hajar adalah anak Raja Firaun dari Mesir—bukan Firaun lawannya Nabi Musa—berdasar tafsir Taurah yang ditulis imam Yahudi pada abad pertama masehi. Disebutkan, Raja Firaun tidak mau menikahkan putrinya dengan sesama anak raja melainkan memilih Ibrahim.
Sementara orang yang menyatakan Hajar adalah budak didasarkan pada cerita tutur dari mulut ke mulut yang tidak memiliki bukti otentik. Cerita bahwa Hajar budak sangat kontroversial. “Saya tantang berdebat yang mengatakan Hajar adalah budak untuk menunjukkan bukti otentik,” katanya.
Ia menyayangkan banyak ustad atau kiai yang menyatakan Hajar adalah budak. Tidak sadar bahwa sudah ikut arus penistaan terhadap nenek moyang Nabi Muhammad. “Bayangkan, Nabi Muhammad, penutup para Nabi dan Rasul dianggap keturunan budak karena Hajar melahirkan Ismail. Sedang Nabi Muhammad masuk garis keturunan langsung Ismail. Orang Yahudi saja menghormati Hajar, mosok orang Islam malah ikut menistakan,” tegas Ali, lelaki kelahiran Surabaya tahun 1972 dan menjabat Wakil Direktur Abdullah Washian Centre.
Menurut Menachem Ali, perjalanan Isra Miraj Nabi Muhammad dari Masjid Haram di Mekah ke Masjid Aqsha di Yerussalem ada benang merah dengan ajaran Yahudi yang menempatkan dua tempat itu sebagai tempat suci. Dalam literatur Yahudi yang ditulis beberapa abad sebelum Nabi Muhammad datang, disebutkan adanya ritual haji di Mekah untuk pengikut ajaran Nabi Ismail. Sedang Yerussalem adalah tempat suci untuk pengikut ajaran Nabi Ishak.
Salah satu kemiripan ajaran yang ditampilkan Menachem Ali adalah saat umat Islam berdoa dengan menempelkan tangannya di dinding Kabah. Sedang orang Yahudi menempelkan tanganya di Dinding Ratapan yang terletak di kompleks Baitul Maqdis.
Islam juga mengakui keduanya merupakan tempat suci. Bedanya Islam menempatkan Baitul Maqdis di Yerussalem adalah tempat suci yang menjadi kiblat atau arah shalat pertama umat Islam sebelum Allah memindahkan kiblat umat Islam ke Masjid Haram di Mekah.
Tafsir Taurat tertua sudah menuliskan bahwa kelak akan lahir Rasul dari keturunan Ismail yang akan berada di kota Madinta menurut bahasa Ibrani, atau Yastrib menurut bahasa Arab. Untuk itulah banyak kelompok Yahudi yang hijrah dari Palestina ke Yastrib. Kemudian ketika Nabi Muhammad datang ke Yastrib atau Madinta, diganti namanya menjadi Madinah.
“Dalam menyikapi kerasulan Muhammad, Yahudi Madinah terbelah menjadi dua. Ada yang mengikuti Islam seperti imam Yahudi Abdullah bin Salam, tapi adala juga yang tidak mau mengakui,” kata Manachem Ali yang semula penganut agama Nasrani.
Dikatakan, jika diibaratkan saudara, Yahudi itu kakak tertua, Nasrani anak kedua, Islam itu anak bungsu. “Antara anak pertama dengan anak terakhir ini dalam hal akidah banyak kesamaannya. Misalnya Yahudi dan Islam sama-sama menganut tauhid, atau keesaan Tuhan. Maka Yahudi tidak pernah menganggap Islam itu menyekutukan Tuhan. Berbeda pandangan Yahudi terhadap Kristen yang mereka nilai syirik atau menyekutukan Tuhan. Sama pandangannya dengan Islam terhadap Kristen yang menilai bahwa adanya Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Tuhan Roh Kudus dalam konsep ajaran Trinitas adalah syirik.
“Jadi anak pertama dengan anak bungsu ini banyak kesamaan. Tetapi ada kedua ini justru beda sendiri, “katanya. Hal ini karena anak kedua banyak dipengaruhi Helenisme, yaitu ajaran paganisme Roma kuno. (Anwar Hudijono)