Sementara itu, Fatoni, salah seorang alumni senior, karena nyantri tahun 1984, dua tahun setelah pesantren berdiri, berkisah tentang pengalaman “susahnya’ nyantri tempo dulu. “Bukan hanya kami harus masak sendiri, tapi masalahnya, dandang-nya seringkali rebutan,” ungkapnya. Yang dimaksud dandang adalah tempat menanak nasi, sebelum ada teknologi magic com seperti sekarang.
“Kami dulu juga sering minum air bekas masak nasi. Beda sekarang, yang tinggal beli air isi ulang atau kemasan,” ceritanya. Namun begitu, Fatoni merasa bersyukur bisa tinggal di pesantren. Karena dari pesantren, di samping ilmu, dia mendapat pengalaman berharga soal kemandirian.
Bahkan karena itu pula dia memotivasi anak-anaknya untuk meniru jejaknya. “Sekolah sambil nyantri itu akan membentuk insan ulul albab. Insan yang spiritualitasnya kuat, juga kuat penguasaan ilmu pengetahuannya. Dalam Alquran, ciri ini disebut berdzikir dan berfikir,” kata pria yang bersama temannya sukses mendirikan bisnis percetakan ini.
Fatoni lalu meminta adik-adik santri untuk tidak minder. Tapi justru harus bangga dan bersyukur. “Siapa tahu, dari pesantren sederhana ini akan muncul ilmuwan-ilmuwan Muslim,” harapnya, sambil memberi contoh salah satu anaknya, yang saat SMP pernah mondok dengan segala kesederhanaannya, tapi kini mendapat beasiswa kuliah di Jurusan teknik Sipil, Universitas Kyoto, Jepang.
Salah satu alumni yang dijadwalkan ikut memberi testimoni berhalangan hadir. “Saya minta maaf tidak bisa hadir,” kata dr Sriyono SpU, yang pekan ini jadwal operasi yang harus dia tangani di RSI Siti Aisyah Madiun, padat sekali. (Ibnu Thohir)