“Jika menyeleweng dari ketentuan ini, maka sudah tentu bukan ziarah yang sesuai dengan tuntunan ajaran Islam,” jelasnya menegaskan mafhumul mukhalafah dari simpulan hukum itu.
Selain ziarah syar’iyyah, macam ziarah yang kedua adalah ziarah bid’iyyah, ziarah yang bid’ah. Yaitu melakukan safar atau perjalanan yang khusus untuk ziarah pada kuburan para tokoh tertentu atau di tempat-tempat tertentu. “Meski sekarang banyak orang yang melakukan, tapi sesungguhnya perbuatan ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Bahkan pada periode sahabat setelah Nabi wafat, dan generasi selanjutnya juga tidak pernah melakukannya.”
Kita sebagai umat Islam, lanjut Syamsuddin, memang meyakini bahwa para sahabat Nabi adalah orang-orang shaleh. Banyak para sahabat yang gugur sebagai syuhada di medan-medan perang yang lokasinya jauh dari Madinah dan kemudian dimakamkan di tempat-tempat tersebut. “Namun, tidak pernah ada riwayat yang menceritakan bahwa keluarga mereka melakukan safar untuk menziarahi tempat-tempat para kerabatnya tersebut dimakamkan.”
“Jika para keluarga para sahabat saja tidak melakukan, maka sungguh lucu jika umat sekarang melakukannya,” tandas Syamsuddin. Termasuk juga bid’ah juga ziarah kubur dengan keyakinan bahwa kuburan adalah tempat mustajabah (mudah dikabulkan) untuk berdo’a.
Ziarah yang ketiga adalah ziarah syirkiyyah. Yaitu ziarah yang di dalamnya para pelakunya punya unsur untuk minta perlindungan dan dipenuhinya hajat-hajat hidupnya dari arwah penghuni kubur. “Dan yang ini memang juga banyak terjadi di kalangan umat Islam di Indonesia karena ketidaktahuannya atau karena memang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh tertentu.”
Dari ketiga macam ziarah itu, lanjut Syamsuddin mengutip ulama terkenal Ibn Yahya an-Najmiy, mengeluarkan hukum yang berbeda-beda bagi pelakunya. “Untuk orang yang melakukan ziarah syar’iyyah, sudah tentu mereka akan mendapatkan pahala karena mereka melakukannya sesuai dengan tuntunan Islam.”
“Sementara untuk yang melakukan ziarah bid’iyyah, maka pelakunya merugi karena amalnya yang dikiranya ibadah tersebut sia-sia,” lanjut Syamsuddin. Adapun para pelaku ziarah syirkiyyah, yang mengunjungi kuburan untuk meminta perlindungan dan dipenuhinya hajat-hajat hidupnya dari arwah penghuni kubur, maka bisa menyebabkan pelakunya keluar dari Islam.
“Jika melihat sejarah, ramai-ramai ziarah kubur menyongsong datangnya bulan Ramadlan merupakan fenomena baru dalam sejarah sosial umat Islam,” jelas pakar Ilmu Hadits tersebut. Karena itu, sudah tentu saja tidak ada dalilnya dalam al-Qur’an maupun al-hadits. Demikian pula tidak ditemukan padanannya dalam kehidupan generasi awal umat Islam, baik pada zaman Nabi, sahabat ataupun tabi’in.
Tradisi baru ini dimunculkan oleh golongan Syi’ah Isma’iliyyah pada zaman khilafah Fatimiyah di Mesir pada abad lima hijririyah atau abad kesebelas masehi. Tradisi ini berakar pada keyakinan mereka yang batil bahwa puasa Ramadlan tidak sah dikerjakan sebelum publik melihat wajah khalifah.
“Maka setiap menjelang Ramadlan, khalifah muncul dihadapan publik untuk melegitimasi puasa Ramadlan, dan dilanjutkan dengan berbondong-bondong menziarahi kuburan para leluhur,” jelas Syamsuddin mengutip kitab al-Jurjawi.
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-shawab. (abqaraya)