PWMU.CO – Saat ini saya di Semarang sedang menunggu pemeriksaan Tim Adhoc Etik Senat Akademik ITS atas kasus penyebaran meme pembubaran HTI viral yang mengutip pernyataan saya soal itu.
Saya belum tahu dakwaan apa yang akan ditujukan ke saya atas kasus ini: pendukung HTI yang ingin mengubah dasar negara Pancasila? Pelanggaran UU Guru dan Dosen? Atau pelanggaran disiplin PNS?
Saya akan sampaikan pikiran-pikiran saya dalam kolom ini. Saya berharap pemeriksaan atas saya tersebut terbuka untuk umum. Saya pandang proses pemeriksaan terbuka ini penting menjadi pelajaran bagi saya pribadi, mahasiswa-mahasiswa saya, ITS, alumni-alumninya, dan masyarakat umum.
Jelas sidang pemeriksaan atas saya itu tidak bakal sefenomenal sidang atas Soekarno sekitar 88 tahun silam dengan judul “Indonesia Menggugat” di hadapan pengadilan Landraad Belanda di Bandung. Namun saya menilai bahwa pemeriksaan ini lebih bersifat politis dari pada pemeriksaan etis apalagi teknis.
Pertama, saya memandang diri saya lebih sebagai profesional—lihat UU Guru dan Dosen 2005—bukan sebagai pegawai, sementara dekan hanya tugas tambahan saja. Sebagai orang yang memangku jabatan dekan saya taat pada pemerintah. Rekam jejak saya selama 30 tahun bekerja serta kegiatan sehari-hari saya cukup untuk membuktikan hal tersebut. Hemat saya, pandangan dan sikap saya konsisten dan sesuai dengan UU Guru dan Dosen.
Kedua, sebagai dosen profesional saya memiliki kebebasan akademik dan kebebasan mimbar. Saya meyakini bahwa dua kekebasan inilah satu-satunya alasan paling sah mengapa dosen memiliki posisi berbeda dengan tenaga kependidikan, dan universitas—baik negeri atau swasta—berbeda dengan lembaga-lembaga lain, termasuk lembaga pemerintah sekalipun.
Karena alasan yang unik itulah universitas berhak menganugerahi gelar sarjana, magister dan doktor. Gelar itu adalah bukti bahwa para sarjana, magister, dan doktor telah dilatih untuk mencari, menemukan, dan mempertahankan kebenaran. Tanpa jaminan kebebasan, semua proses pencarian kebenaran itu akan menghadapi hambatan yang sangat serius.
Ketiga, saya bersikap bahwa kesetiaan saya tidak pada Pemerintah yang sedang berkuasa, tapi pada negara dan konstitusi. Perkembangan wacana publik cenderung mengaburkan perbedaan esensial antara Negara dan Pemerintah. Pemerintah partisan boleh berganti sesuai siklus Pemilu, tapi negara dan konstitusi tidak.
Selama 10 tahun terakhir, saya melihat sebuah proses birokratisasi PTN yang menjadikan dosen lebih sebagai pegawai daripada profesional. Sikap saya itu seperti sikap anggota TNI dan PNS Jerman: hanya taat dan setia pada negara dan konstitusi, bukan pada Pemerintah. Sikap pemerintah untuk merancukan Negara dan Pemerintah ini saya duga berasal dari kenyataan sejarah bahwa Indonesia pernah dijajah Belanda. Sebagai pemerintahan kolonial, Belanda merekrut pegawai untuk menjalankan pemerintahan.
Keempat, birokratisasi kampus itu secara perlahan tapi pasti akan menempatkan universitas pada maqam yang lebih rendah dan akan kehilangan privelege untuk memberi gelar akademik. Mungkin keistimewaan itu akan tetap ada, tapi gelar itu makin tidak bernilai. Oleh karena itu merampas iklim kebebasan universitas dengan menempatkan dosen PTN lebih sebagai PNS daripada sebagai profesional adalah membahayakan eksistensi universitas sebagai benteng terakhir nurani bangsa ini.
Pergeseran PTN BLU menjadi PTN BH seharusnya menempatkan ITS menjadi kampus yang lebih bebas dan mandiri. Bukan sekadar mandiri secara keuangan tapi juga mandiri dan bebas menggagas ide-ide yang tidak sekedar inovatif tapi juga disruptif yang dituntut oleh Revolusi Industri 4.0. Tentu agak mengherankan jika pejabat-pejabat fasih bicara soal revolusi, tapi menumpas iklim kebebasan sambil mengembangkan ketakutan di mana-mana, termasuk di kampus.
Dalam upaya membangun masyarakat yang bebas itu, sebagai dosen saya menolak kerangka pikir UU Ormas, juga UU Anti-Terorisme. Jika ini dinilai mendukung ormas-ormas Islam tertentu, ya apa boleh buat.
Saya ingat pesan Ki Hadjar Dewantara. Salah satu tujuan utama pendidikan adalah membangun jiwa merdeka. Hanya di atas kemerdekaan jiwa itulah integritas menemukan lahan yang subur. Sebagai warga Surabaya Kota Pahlawan, dan dosen ITS sebagai Kampus Pahlawan, saya menggugat proses-proses perampasan kebebasan berserikat, dan menyatakan pendapat yang telah dijamin konstitusi.
Perlu segera disadari bahwa pahlawan-pahlawan itu gugur untuk merebut dan membela kebebasan—untuk mencari dan menemukan kebenaran—bukan membela yang mbayar.
Jatingaleh, 20 Mei 2018
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Santri Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi.