PWMU.CO – Tidak seperti di kota, yang adzannya dikumandangkan persis di awal waktu, di desa, adzan Ashar dikumandangkan pukul empat sore, berbarengan dengan pulangnya para petani dari sawah atau ladang.
Usai adzan Ashar, seperti biasa, mushala di salah satu desa di Jombang, Jawa Timur, melantunkan puji-pujian; sambil menunggu makmum lainnya datang. Hingga puji-pujian berjalan sekitar 10 menit, imam rawatib belum juga muncul. Makmun mulai menoleh kiri-kanan mencari siapa yang layak jadi badal (pengganti) imam tetap.
(Baca: Pertanyaan Usil Santri pada Kyai)
Akhirnya, dipilihlah salah seorang jamaah untuk jadi imam. Yang ditunjuk seorang jamaah yang tak memakai kopiyah. Majulah ia jadi imam. Dan dimulailah shalat Ashar. Tapi, imam ini ‘aneh’. Ia tidak mengeraskan niat seperti yang dilakukan imam Nahdhiyin pada umumnya. Jamaah mulai curiga. Ada sedikit rasa gusar.
(Baca juga: Cerita Sekolah Muhammadiyah di Daerah Non-Muslim)
Setelah shalat Ashar usai ditunaikan, imam diam saja. Imam tidak mengeraskan bacaan dzikir dan doa. Imam berdzikir dan berdoa dengan sirr (rahasia). Jamaah shalat pun semakin gusar. Bahkan sampai ada yang nyeletuk, “Waduh, ternyata yang ngimami tadi orang Muhammadiyah”.
He he .. orang Muhammadiyah menjadi imam shalat bagi jamaah Nahdhiyin tidak membatalkan shalat, kan? Begitu pula sebaliknya. Jika yang dari kalangan Nahdhiyin jadi imam jamaah Muhammadiyah? Akur deh!
Ditulis oleh Muhammad Ainun Najib, dari sebuah pengalaman nyata.