Kolom oleh Anwar Hudijono
PWMU.CO – Keberadaan kultum (kuliah tujuh menit) pada bulan Ramadhan begitu penting seperti halnya anting-anting pada kuping wanita. Saking pentingnya, takmir masjid, organisasi massa Islam, kelompok majelis taklim bahkan sampai partai politik, instansi pemerintah mengagendakan acara kultum. Bahka di acara buber saja menjadi kurang sip kalau tidak ada kultum. Jadinya di samping Ramadhan itu bulan rahmat, ampunan dan barokah, adalah bulan kultum.
Di sebuah masjid, acara kultum sehari bisa sampai empat kali. Bakda Shalat Subuh, Shalat Dhuhur, bakda Ashar menyongsong buka, dan Shalat Isya yang biasanya dilanjut dengan Tarwih. Praktis yang kosong Cuma bakda Maghrib karena sibuk berbuka.
Bahkan saat Tarwih atau Qiyamul Ramadhan kultum seperti “wajib” sampai-sampai pentingnya melebihi kegiatan dzikir di antara setelah salam sebelum melanjutkan shalat berikutnya seperti yang diajarkan Rasulullah. Kadang dizkir itu dipercepat atau bahkan dihilangkan karena khawatir waktu kultum habis sementara jamaah segera kabur karena acara yang lain.
Demikian pula kultum subuh menjadi lebih urgen dibanding dzikir bakda subuh seperti membaca Al Ma’tsurat atau Wirid Latif. Padahal dzikir pagi itu diajarkan Nabi. Praktis kalau kultum subuh berubah menjadi kuliah tujuh puluh menit sampai waktu syuruq maka kesempatan dzikir pagi jadi terbengkalai.
Kultum itu millah atau tradisi peradaban yang bagus meskipun bisa jadi Nabi tidak memberi contoh dengan frekuensi sebanyak itu di bulan Ramadhan. Setahu saya yang awam ini, amalan Ramadhan sebagai rangkaian ibadah puasa yang dianjurkan adalah perbanyak baca Al Quran, beritikaf (berdiam diri) di dalam masjid yang berarti perbanyak dzikir dan baca Quran, berinfaq dan sodaqoh.
Ketika kultum ditempatkan seolah-olah lebih penting dibanding amalan-amalan yang dianjurkan Nabi sehingga terkesan kultum malah menjadi seperti lebih penting teras daripada rumah.
Tradisional
Karena permintaan kultum meningkat pesat, maka para ustad jadi benar-benar sibuk. Polahnya seperti kitiran. Subuh di Sidoarjo, Dhuhur di Surabaya, Ashar di Gresik, Isya di Mojokerto, besuk subuh lagi di Jakarta. Sampai-sampai nderes Quran di kendaraan.
Karena kultum sudah menjadi tradisi, maka ada kecenderungan pola kultum juga tradisonal. Awal bulan Ramadhan, para penceramah akan banyak membahas soal dasar perintah puasa sampai soal ngentut di air itu membatalkan puasa apa tidak. Imsya itu boleh makan apa tidak. Setelah itu tentang keutamaan puasa, ancaman neraka dan indahnya surga. Pintu taubat dibuka.
Sekitar tanggal 17 Ramadhan galibnya membahas tentang turunnya Quran. Keutamaan Quran dan sebagainya. Pada 10 hari terakhir biasanya tentang lailatul qadr, kembali ke fitrah, pentingnya silaturahim, akhlak maaf memaafkan.
Pola demikian ada kecenderungan berulang-ulang setiap tahun. Bahkan ada ustad yang seperti tinggal copy paste. Tinggal buka laptop. Sudah punya jadwal topik 30 hari dan doa 30 hari. Kalau kebetulan puasanya 29 hari, terpaksa harus ada yang dicoret. Sebab kalau digabung akan menambah waktu. Dan itu bisa mengganggu jadwal kultumnya.
Karena rutinitas itu maka kultum sangat bagus dalam fungsi mengingatkan kembali. Merecoveri pengetahuan. Tentu saja ada konsekuensi jika setiap tahun menerima topik yang sama. Apalagi ustad yang sama dengan materi yang kembali ke laptop. Ibarat orang makan jika setiap kali nasi goreng dadar telor, pada titik tertentu akan bosan. Maka ada istilah “almblengeru bil kultum.”
Implikasi dari meningkatnya permintaan kultum, sementara jumlah ustad terbatas, maka akhirnya kurang selektif dalam memilih ustad. Pokoknya jam kultum tidak lowong. Akibatnya terjadi kemunduran kualitas kultum. Tidak pada progres atau kemajuan jamaah, tetapi malah kemerosotan. Atau minimal membuat “albingungi bil kultum”.
Pola kultum membuat jamaah “mengetahui hal sedikit untuk hal yang banyak”. Sedikit fiqih, sedikit tafsir, tarikh, ilmu kalam, ilmu tasauf, perbandingan agama, fiqih siyasah dan sebagainya. Apalagi ketika ilmu-ilmu itu disampaikan secara berganti-ganti dalam hitungan jam, terkadang menjadi tumpang tindih di otak, apalagi untuk jamaah yang sudah setengah udzur. Akhirnya materi kultum melintas cepat seperti pesan pada medsos.
Agar tradisi kultum ini tidak membuat jenuh, bahkan penolakan, maka perlu direvisi, diupdate baik pola maupun momentnya. Misalnya, ada forum atau moment yang bertujuan agar jamaah “mendalami hal banyak untuk hal yang sedikit”. Misalnya, pada jam dan tempat tertentu khusus pengajian Riyadus Shalihin, Kitab Arba’ Imam Nawawi, kitab-kitab kontemporer. Satu contoh, KH Achmad Sidiq almarhum jika di bulan Ramadhan hanya khusus mengkaji Ihya Ulumudin.
Semua yang terlibat manajemen kultum hendaknya membangun tekad untuk terus meningkatkan kualitas kultum. Lebih dari sekadar “kewajiban” tradisional. Lebih dari yang pentingf jadwal terisi. Salah satunya melakukan seleksi ketat terhadap ustad.
Sertifikasi Ustadz
Hal ini akan memacu para ustadz untuk meningkatkan pengetahuannya. Mengalimkan akhlaknya. Untuk membantu penyelenggaran kultum mendapat ustad yang berkualitas, hendaknya mulai dipikirkan adanya sertifikasi ustadz. Hal ini sesuai tuntutan jaman di mana profesionalitas itu dihargai atau ditandai dengan sertifikasi. Karena ustadz saat ini sudah menjadi profesi.
Sertifikasi , atau jika perlu akreditasi diberikan dengan tingkat-tingkatan misalnya A sampai D. Atau sertifikasi per keahlian. Hal ini akan mendorong ustad mengambil spesialisasi keilmuan. Sebenarnya jaman dulu juga sudah ada sejenis sertifikasi terhadap ulama yang secara informal dan alamiah muncul. Misalnya, kiai ini ahli tafsir, kiai itu ahli nahwu. Bahkan ada kiai sembur (pengobatan) dan kiai tutur (penasehat). Ada juga kiai ngawur karena tidak bisa apa-apa dan akhlaknya kacau tapi mengaku kiai.
Dengan ustadz sepesialis, jamaah akan lebih terjamin mendapat ilmu di bidang tertentu. Sepertinya halnya pasien sakit hidung yang mendapat penangangan dokter spesialis THT. Saat ini ada kecenderungan sebagian besar ustadz itu masih seperti dokter umum. Bisa bicara apa saja tetapi tidak mendalam.
Siapa yang memberi sertifikat? Ini yang pasti akan jadi polemik. Kemenag coba-coba membuat daftar 200 penceramah recommended saja bikin gaduh. Sertifikasi dikeluarkan oleh organisasi ustadz itu sendiri. Misalnya Muhammadiyah oleh Muhammadiyah, NU oleh NU. Kalau ustadz yang tidak berafiliasi ke organisasi, bisa oleh MUI atau oleh lembaga tempatnya menempa ilmu.
Sertifikasi ini sekaligus untuk mencegah munculnya ustadz abal-abal. Modal beli kopiah, baju koko dan surban di Pasar Turi sudah berani menobatkan diri jadi ustadz. Promosi gencar di Youtube atau beli jam siar di stasiun teve lantas laris manis ke mimbar. Dan, ceramahnya asal njeplak.