PWMU.CO – Masih dalam bulan Syawal 1439 H, kegiatan silaturrahmi dengan segala bentuknya masih terseelenggara. Dengan ragam kondisi semua pihak, tak pelak momen anjang sana anjang sini ini juga menjadi ajang curahan hati (curhat) masyarakat.
Satu yang tidak lepas, semuanya tidak bisa lepas dari persoalan ekonomi, meski kondisi masing-masing berbeda. Disadari atau tidak, dari obrolan yang cukup panjang mereka telah mengungkapkan betapa sulitnya pertumbuhan ekonomi di bulan-bulan ini.
Di daerah Bojonegoro misalnya, Sutrisno dengan nada lirih menceritakan sekian hektar tanah pertaniannya tidak menghasilkan panen . Semua lahannya kering kekurangan air di saat benih-benih yang dia tanam mulai tumbuh tunas dan akhirnya kering .
Padahal kata Pak Tris, biasa orang memanggilnya, beberapa bulan sebelumnya para petani telah mengalami kerugian besar. Saat itu mereka sedang panen raya untuk komoditas beras. Tapi pada saat itu pemerintah justru mengimpor beras dari Vietnam. Kebijakan ini tentu saja membuat harga beras lokal jatuh.
Lain Pak Tris lain juga dengan keluarga Mulyanto. Pak Mul, begitu biasa dipanggil, menceritakan perihal anggota keluarganya yang tidak bisa mudik semuanya seperti tahun-tahun yang lalu. Sebab, upah kerja di antara anggota keluarganya belum sepenuhnya diterima.
Kondisi Pak Tris dan Pak Mul sepertinya juga dirasakan oleh para pengusaha tingkat menengah ke bawah. Keluhan terkait lambatnya perputaran keuangan, bahkan tidak bisa berputar, kerap terjadi. Kondisi ini tentu saja tidak dirasakan oleh para pengusaha kelas kakap.
Fenomena ini menjadi suatu penguat opini tentang kapitalisme yang semakin kuat menjadi penentu kebijakan di bumi pertiwi. Tentu saja mengarah pada pengingkaran atas makna-makna humanisasi yang diterapkan, baik dalam bentuk kasat mata ataupun tidak. Sebab, ia selalu berkenaan pada tindakan dan kebijakan yang tidak berkeadilan dan sekaligus memunculkan penindasan tidak karuan.
Islam menentang ketidakadilan dan penindasan, begitu dinanti kontribusinya. Dalam hal aktivitas ekonomi konsumsi dan distribusi, al-Qur’an menyebutkan larangan memakan harta dengan cara “bathil”. Yaitu perilaku curang, menipu, menindas, dan sekaligus akumulasi nilai barang yang berlebihan pada komoditas.
Oleh karena itu pesan-pesan keadilan Islam harus mampu membangkitkan kekuatan-kekuatan protes dan perlawanan atas poros-poros neoliberalisme dan kapitalisme. Sebab, keduanya berperan dalam meningkatkan angka-angka depresi sosial-ekonomi yang makin akut. Yang lebih mengerikan, sebagai ancaman bagi dehumanisasi nilai-nilai kemanusian yang semakin menjadi-jadi.
Jiwa-jiwa revolusioner sebagaimana telah dicontohkan Nabi Muhammad, sedini mungkin harus dipupuk di kalangan umat muslim. Bila Nabi menentang penindasan dalam bentuk perbudakan kala itu, maka sekarang kita harus menentang penindasan terhadap petani dan buruh. Bila Nabi menentang oligarki borjuis Arab kala itu, maka kita harus menentang era pasar bebas ala kapitalis dan semua elemen pendukungnya. (*)
Kolom ditulis oleh Uzlifah, Ketua Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Daerah Aisyiyah Kota Malang