PWMU.CO – Visi internasionalisi pemikiran Muhammadiyah sebagai amanat Muktamar ke-47 Muhammadiyah Makassar, terus ditatarapikan. Salah satu pendukung penting internasionalisasi itu tentu saja adalah Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) yang personalianya tinggal di luar negeri. Salah satu PCIM yang sudah “mapan” menyelenggarakan forum internasional adalah PCIM Inggris Raya dalam bentuk “Muhammadiyah Internastional Forum” (MIF).
Kali ini, MIF seri kedua menghadirkan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, DR Abd. Mu’ti, yang disandingkan dengan Prof Jonathan Benthall, dari Department of Anthropology, University College London/UCL. Keduanya berbicara tentang “Islamic Charities and Islamic Humanism”, yang juga judul buku karya Jonathan Benthall yang baru diterbitkan oleh Manchester University Press (Maret 2016), di Royal Anthropological Institute, London, Inggris (9/5).
“Charity saat ini menjadi trend atau membudaya di Indonesia,” begitu kata Mu’ti mengawali paparan. Mu’ti menjelaskan ada 6 model philanthropy dalam Islam. Yaitu Zakat, Sodaqoh, Wakaf, Hibah, Infaq, dan Hadiah. Semuanya memiliki dimensi untuk membersihkan jiwa, harta dan masalah. “Muhammadiyah misalnya dengan lembaga amal zakat yang dimilikinya, berpedoman pada pemahaman untuk membantu sesama manusia dalam konteks tanggung jawab sosial,” jelas Mu’ti menjelaskan Lembaga Zakat Infaq, dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu).
(Baca: Spirit Menggembirakan Zakat Sejak Tahun 1950 dan Zakat adalah Gerakan Otentik Muhammadiyah)
Dalam forum internasional ini, Professor Jonathan Benthall menjelaskan potensi “humanisme Islam” di abad 21 melalui berbagai lembaga kemanusiaan yang di miliki oleh umat Islam di dunia. Lebih khusus, Benthall juga membahas Muhammadiyah yang sejak pendiriannya sangat kental dengan semangat charity ini. Awalnya masih dalam bingkai “Penolong Kesengsaan Oemoem (PKO)”, yang dalam kekinian berubah menjadi Lazismu. “Bright future for Islam,” begitu kata Jonathan Benthall mengomentari kiprah Muhammadiyah dalam kerja-kerja kemanusiaannya tanpa membedakan latar belakang.
Karena itu, Benthal berharap besar pada Muhammadiyah, dan Islam Indonesia umumnya, sebagai ujung tombak mewujudkan Islamic Charity yang menembus sekat-sekat social. Sebab, tambahnya, pola charitynya berbeda dg Islam di Timur Tengah. “Islamic Charity di Indonesia tidak hanya membantu umat Islam saja tapi seluruh manusia di dunia yang membutuhkan. Ini yg terkadang beda dengan Timur Tengah yang terkadang bantuan hanya untuk umat Islam saja.”
Dalam sesi itu, Benthall juga menanyakan tentang distribusi zakat yang dihimpun oleh Lazismu. “Apakah charity yang dihimpun Muhammadiyah itu harus diberikan pada negara Islam saja?” tanyanya. Menjawab pertanyaan itu, Mu’ti panjang lebar tentang tentang tata kerja Muhammadiyah melalui Majelis dan Lembaga. “Charity yang dihimpun Muhammadiyah tidak hanya diberikan pada umat Islam, tapi menolong fakir, miskin, mualaf, dan juga mereka yang terkena bencana alam maupun kemanusiaan.”
(Baca: Ketua PWNU Riau Suka Pengelolaan Zakat Muhammadiyah dan Lazismu Harus Jadi Kekuatan Perubahan)
Jawaban Mu’ti ini membuat Benthall senang dan benar-benar optimistis Muhammadiyah merupakan masa depan cemerlang Islam karena kental dengan semangat humanitarian. Optimistis ini memang tidak berlebihan karena Muhammadiyah selalu akti dalam menggerakkan misi kemanusiaan. Lembaga Penanggulangan Bencana (LPB) PP Muhammadiyah bersama Lazismu tercatat telah mengirimkan misi bantuan kemanusiaan Badai Haiyan di Filipina, Gempa Bumi Nepal, menjadi peserta aktif pada pertemuan lembaga PBB dan Palang Merah Internasional, hingga pelatihan-pelatihan di Mesir, Bangkok, Singapura dan Filipina.
Selain itu mereka juga menggalang dana untuk bantuan krisis kemanusiaan di Palestina.Termasuk juga mendampingi pengungsi internasional lintas negara, seperti pengungsi Rohingnya di Medan dan Aceh. Jadi, bukan hal yang aneh jika profesor Barat pun harus optimistis jika Islam (Muhammadiyah) menjadi garda terdepan dalam membela kemanusiaan? (unang mulkhan)