PWMU.CO – Kasus Batanghari, Jambi, menarik untuk ditelaah. Si Abang, sesuai bunyi putusan majelis hakim, melakukan perkosaan terhadap adiknya setelah sebelumnya menonton tayangan pornografi.
Naik syahwat si Abang, lalu ia tumpahkan ke orang dekat. Jadi, dakwaan atas diri si Abang sesungguhnya berawal dari situasi ketika ia adalah korban pornografi.
Selaku terdakwa, ia telah divonis bersalah. Tapi sebagai korban, hak-haknya tidak bisa dinihilkan. Undang-Undang Perlindungan Anak mencantumkan ketentuan bahwa anak korban pornografi berhak akan perlindungan khusus.
Perlindungan khusus diberikan kepada si Abang dalam kedudukannya selaku korban, agar ia memperoleh jaminan rasa aman dari ancaman yang berpotensi mengganggu proses tumbuh kembangnya.
UU Perlindungan Anak menentukan bahwa perlindungan khusus bagi anak korban pornografi diselenggarakan melalui pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental.
Perlakuan serupa semestinya juga berlaku bagi si Adik. Dia divonis bersalah karena menggugurkan bayi yang dikandungnya. Situasi pendahulunya adalah ia mengalami viktimisasi seksual. Anak korban kejahatan seksual, seperti Adik tersebut derita, juga berhak atas perlindungan khusus.
Perlindungan khusus bagi korban kanak-kanak dalam situasi traumatis tersebut diberikan dalam bentuk edukasi, rehabilitasi sosial, pendampingan psikososial selama pengobatan dan pemulihan, serta perlindungan dan pendampingan selama berlangsungya proses hukum.
Jadi, penting untuk dievaluasi: seberapa jauh perlindungan khusus telah diberikan kepada si Abang dan si Adik selaku korban? Negara siap menghukum, negara siap melindungi? (*)
Kolom oleh Reza Indragiri Amriel,
Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).