PWMU.CO – Kabinet Kerja Presiden Jokowi sempat disebut dan diharapkan mampu mengusung semangat Kabinet Kerja Presiden Soekarno tahun 1959-1964. Kabinet yang mengusung semangat revolusi ekonomi dari struktur kolonial menuju struktur ekonomi nasional mewujudkan kesejahteraan rakyat; memberdayakan bangsa Indonesia dalam bidang politik dan ekonomi, menjadi tuan di negeri sendiri sebagai tujuan sentral Proklamasi 17 Agustus 1945.
Dalam Kabinet Kerja-nya, Presiden Soekarno menempatkan Ir H Raden Djuanda Kartawidjaja sebagai Menteri Keuangan dan Menteri Utama (Perdana Menteri). Kabinet Kerja sebagai pengganti Kabinet Karya yang juga disebut Kabinet Djuanda periode 09 April 1957 – 6 Juli 1959.
Sebagaimana Kabinet Karya atau Kabinet Djuanda, Kabinet Kerja diamanatkan untuk kerja, kerja, dan kerja melakukan Revolusi Ekonomi (bukan Revolusi Mental). Revolusi Fisik berupa perang persenjataan menghadapi Agresi Militer Inggris di Surabaya 10-11-1945 hingga Agresi Militer Belanda 1947-1948 dianggap sukses dengan pengakuan penuh kemerdekaan RI tahun 1950.
Periode tahun 1950 sampai dengan pelaksanaan pemilu 1955 Program Ekonomi tidak menjadi prioritas serius. Pergolakan politik sebagai pertentangan ideologi lebih mengemuka daripada sebuah usaha mencari jalan keluar dari persoalan ekonomi.
Kabinet Juanda (Kabinet Karya) yang memulai masa kerja 9 April 1957 menandai langkah awal Revolusi Ekonomi Nasional dalam Pola Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun. Pola delapan tahun terdiri atas tiga tahun masa riset dan lima tahun masa pelaksanaan.
Kabinet Juanda atau Kabinet Karya “dilikuidasi” 6 Juli 1959 bukan karena dianggap gagal, namun dipersiapkan untuk lebih kuat dengan back up kuat Presiden bersama TNI.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang salah satu poinnya pembubaran Dewan Konstituante hasil pemilu 1955 menegaskan bentuk back up kepada kabinet berikutnya dari tarik-menarik kepentingan politik praktis.
Dalam kabinet baru yang dibentuk 10 Juli 1959 Ir Djuanda kembali memegang amanah sebagai Menteri Utama (nama baru pengganti istilah Perdana Menteri). Tugas teknis sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet sebelumnya digantikan oleh Mayor Jendral Nasution.
Tugas teknis dan strategis Menteri Keuangan sebagai tanggungjawab Ir Djuanda untuk menjaga kas negara yang sedang merencanakan gawe besar. Mewujudkan struktur ekonomi nasional yang merdeka sebagai prioritas utama dengan prioritas tambahan Pembebasan Irian Barat dan menjadi tuan rumah Asian Games di Jakarta.
Tugas berat pemegang kas negara yang lebih berat dari menteri keuangan saat ini di mana tidak ada ancaman perang militer menghadapi kekuatan militer asing. Anggaran militer menyedot kas negara paling besar, disusul anggaran subsidi perusahaan negara dan swasta. Anggaran sebagai tuan rumah Asian Games 1962 di Jakarta menempati pos lain-lain.
Anggaran militer yang besar selain untuk operasi keamanan juga dalam rangka nasionalisasi perusahaan Belanda menjadi perusahaan negara. Militer dilibatkan dalam nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan mengingat revolusi ekonomi kolonial tidak kalah strategis dibandingkan revolusi fisik dan politik.
Menteri Utama sekaligus menteri keuangan Juanda dengan “brilliant” mampu menjaga keseimbangan pos anggaran, Irian Barat menjadi milik RI. Asian Games sukses dengan posisi Indonesia pada peringkat ke-2 perolehan medali dan nasionalisasi perusahaan Belanda menghasilkan kurang lebih 400-an perusahaan perkebunan serta 100-an perusahaan dagang.
Dalam periode 1960 – 1963 tingkat kenaikan harga terkendali antara 20 persen hingga 135 persen saja. Sebuah angka kenaikan yang kecil dibandingkan periode tahun 1964-1966 yang mencapai 445 persen – 635 persen. Selanjutnya pascakembalinya Irian Barat ke pangkuan RI, Ir Djuanda berusaha memperbesar fokus anggaran bidang ekonomi.
Dengan Peraturan Pemerintah 26 Mei 1963 Ir Djuanda berencana mengurangi anggaran militer sebesar 47 persen. Anggaran dialihkan untuk memberikan insentif kepada eksportir demi mendatangkan devisa. Ruang gerak pengusaha dan perusahaan swasta diperlebar demi membantu perusahaan negara mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Sebelum tuntas mewujudkan rencana tersebut, Allah SWT memanggil Ir Djuanda pada 7 November 1963.
Sepeninggal Ir Djuanda, Presiden Soekarno merombak kembali Kabinet Kerja dengan Menteri Utama Ir Soekarno sendiri. Selanjutnya Kabinet Kerja berubah menjadi Kabinet Dwikora yang bernuansa “perang” menghadapi Konfrontasi dengan Malaysia. Anggaran Operasi militer kembali meningkat, sepeninggal Ir Duanda, Presiden Soekarno seolah kehilangan sahabat karib dan “tangan kanannya” dalam penyelenggaraan negara sebagai pengganti Drs Mohamad Hatta yang mengundurkan diri pada Desember 1956.
Penyakit lama faksi-faksi politik yang kembali kambuh bagai kanker ganas yang menyerang pertahanan kekebalan tubuh. Puncaknya pada peristiwa politik 1965 menyebabkan Pola Rencana Pembangunan Semesta yang dicanangkan pada 1957 menjadi berantakan.
Dibutuhkan biaya ekonomi dan politik yang sangat tinggi untuk mencapai keseimbangan politik dan ekonomi kembali kondusif. Perlu enam tahun untuk menggelar kembali pemilihan umum 1971 sejak peristiwa 1965 demi mewujudkan pola rencana pembangunan 5 tahun Kabinet Kerja 1959.
Upaya penyederhanaan sistem politik sebagaimana masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru sering dinilai langkah otoriter dari kacamata politik. Orde Reformasi yang bergulir sejak 1998 dengan sistem multi partai belum tampak menunjukkan hasil signifikan dalam kemajuan ekonomi.
Pada bidang ekonomi Demokrasi Terpimpin setidaknya menghasilkan banyak perusahaan negara hasil nasionalisasi perusahaan Belanda. Orde Baru menorehkan prestasi ekonomi murah sandang pangan dan kurs rupiah terhadap dolar Amerika yang cenderung stabil selama 30 tahun sebelum krisis moneter 1997-1998.
Sejak Reformasi 1998 sampai dengan 2018 lebih sering terdengar aksi privatisasi perusahaan negara atau penjualan aset perusahaan negara. Kabinet Kerja Presiden Jokowi yang sedang berproses pengalihan blok Rokan dari Chevron ke Pertamina dan 51 persen saham Freeport ke PT. Inalum semoga membuahkan hasil positif.
Konstelasi politik tahun 2018 hingga 2019 perlu mengambil ibrah periode sebelumnya di mana friksi-friksi politik yang tajam tanpa kendali “hanya” menghasilkan biaya ekonomi yang ditanggung masyarakat makin tinggi.
Jargon-jargon politik yang irasional dan provokatif emosional perlu diganti dengan jargon ekonomi yang rasional. Masing-masing rezim memiliki plus-minus masing-masing, tidak harus dipertentangkan minusnya apalagi dijadikan jargon anti-Nasakom, anti-Orba dengan “bumbu baru” Islam Nusantara atau anti-Wahabi yang bernuansa irasional.
Bagaimanapun fakta yang ada yaitu kemerdekaan ekonomi masih jauh panggang dari api. Masyarakat adil dan makmur belum sepenuhnya tercapai. Nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika masih tinggi menggerogoti daya beli barang mewah impor sampai harga telor.
#2019GantiPresiden atau #2019TetapJokowi tidak ada artinya jika tidak ada kemajuan ekonomi yang bisa diharapkan masyarakat. Persyarikatan Muhammadiyah yang telah kenyang asam garam dalam menempatkan kadernya dalam seluruh rezim penguasa alhamdulillah tetap istiqamah di jalurnya.
Masyarakat memerlukan bimbingan persyarikatan dakwah demi meningkatkan derajat takwanya demi mendapatkan jalan keluar dari konstelasi politik agar tidak menjadi liar.
“… Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya riski dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawaqal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusanNya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (Ath Thalaq: 2 – 3).
Alhaqqu mirabbika falaa takunana minal mumtarin. Wallahualambishshawab.
Kolom oleh Prima Mari Kristanto, Penulis buku Nabung Saham Syariahdan Auditor di Kantor Akuntan Publik Erfan & Rakhmawan Surabaya.