PWMU.CO – Sudah menjadi rahasia umum jika perpolitikan Indonesia itu berbiaya tinggi. Kondisi politik yang serba transaksional, berbiaya tinggi dan bersumbu pendek berakibat dunia politik berada di tangan para aktor yang tamak dan tidak pernah akil baligh. Demikian disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah DR Haedar Nashir dalam Pidato Kebangsaan di Dome Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Ahad (12/8).
Mengawali bahasan tentang kondisi miris ini, Haedar mengutip pidato monumental yang disampaikan Soekarno dalam sidang BPUPKI tahun 1945. “Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua,” kata Haedar mengutip Soekarno.
Pidato Soekarno itu, kata Haedar, seolah menyindir keberadaan negeri ini yang telah berlangsung liberalisasi politik. “Negara yang hanya dikuasai partai politik dan para pemilik modal,” ujar Haedar prihatin.
Dia menjelaskan , politik liberal yang transaksional dan semata berorientasi pada kekuasaan telah menjadikan kehidupan kebangsaan ini kehilangan jiwa, rasa, etika, kehormatan. Padahal sifat kenegarawanan yang sesungguhnya sangat penting bagi tegaknya politik berkeadaban.
“Sangat memprihatinkan. Sementara para aktor dan elitenya dengan ringan diri dapat melakukan apa saja tanpa bingkai etika, moral, keseimbangan, respek, toleransi, kejujuran, keterpercayaan, penghargaan, ketulusan, pengkhidmatan, keadaban dan jiwa ksatria,” jelas Haedar.
Kondisi perpolitikan ini menghasilkan sebuah pemandangan yang cukup tidak elok bagi bangsa ini. “Akibatnya dunia politik berada di tangan aktornya yang tamak dan tidak pernah akil-baligh itu menghasilkan panorama Indonesia bak padang sahara yang kering dari sukma agama, Pancasila, dan nilai-nilai luhur bangsa,” ujar Haedar.
Di sisi lain, Haedar juga mengkritik jagat perpolitikan yang senantiasa membuat citra dengan meminjam agama, Pancasila, dan lain sebagainya. “Sementara itu nilai-nilai agama, Pancasila dan kebudayaan Nusantara hanya sebatas menjadi narasi-narasi retorik yang diproduksi hanya untuk sekedar membangun citra diri nan indah. Bak sayap burung merak di taman bunga Indonesia, minus aktualisasi yang bergaris lurus antara idealita dan dunia nyata,” ucap Haedar.
“Kita tentu tidak ingin karena inkonsistensi para elite dan warganya yang banyak memproduksi perangai berlawanan dengan kebenaran, kebaikan, kepatutan di atas pondasi iman dan taqwa yang aktual,” jelas Haedar sambil menyatakan bahwa jika hal ini terjadi, Indonesia menjadi kehilangan peluang untuk maju membangun peradaban, bahkan menjauh dari berkah Tuhan.
Haedar mengatakan Allah telah mengingatkan dalam al-Quran Surat al-A’raf ayat 96 “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya,” begitu bunyi terejemahannya.
Karena itu, Haedar Nashir menekankan pentingnya para pemimpin agar tercerahkan akal-budi dan peran kebangsaan. Sebab, bagaimana pun, betapa penting posisi dan peran para pemimpin di negeri ini. “Ikan busuk dimulai dari kepala,” begitu Haedar mengutip pepatah Italia.
“Merah putih dan hitamnya umat dan bangsa itu tergantung pemimpinnya. Pemimpin itu jantung dan kepala dari tubuh manusia. Jika pemimpin itu baik, maka baiklah umat dan bangsa ini. Begitu juga sebaliknya, nasib umat dan bangsa ini akan nestapa manakala para pemimpinnya berperangai buruk, khianat dan ugal-ugalan,” tegas Haedar.
Semoga bangsa ini terhindar dari pemimpin berperangai buruk, khianat, dan ugal-ugalan. (uzlifah)