PWMU.CO – Salah satu masalah yang berulang setiap tahun di kalangan umat Islam adalah larangan memotong rambut dan kuku sebelum hewan qurban dipotong. Disebutkan bahwa orang yang mau berqurban, sejak memasuki awal bulan Dzulhijjah, jangan memotong rambut dan kuku.
Pertanyaan yang seringkali muncul adalah milik “siapa” rambut dan kuku yang tidak boleh dipotong itu: orang yang berqurban atau hewan yang akan diqurbankan. Karena hadits yang membicarakan masalah ini muhtamal alias serba mungkin, termasuk kategori mujmal tanpa ada bayan-nya, tentu saja menimbulkan banyak pertanyaan.
Untuk itulah, Redaksi PWMU.CO menurunkan tulisan tentang masalah itu. Ditulis oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim yang juga pakar Ilmu Hadits, DR Syamsuddin, semoga menjadi pencerahan. Selamat membaca. (Redaksi)
***
Merujuk pada berbagai riwayat yang ada, setidaknya ada tiga dalil hadits yang membicarakan tentang larangan memotong rambut dan kuku sejak datangnya bulan Dzulhijjah hingga penyembilah hewan qurban. Artinya, sejak tanggal 1 Dzulhijjah hingga qurban itu disembelih pada 10 Dzulhijjah atau tiga hari kemudian pada hari Tasyriq. Ketiga dalil tersebut adalah sebagai berikut:
سَمِعْت أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ
Aku mendengar Ummu Salamah istri Nabi Saw berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa yang memiliki sembelihan yang akan dia sembelih, maka apabila hilal Dzulhijjah telah muncul, hendaklah ia tidak mengambil dari rambutnya dan kuku-kukunya sedikitpun sampai ia berqurban.” (HR Muslim)
عن أُمِّ سَلَمَةَ تَرْفَعُهُ قَالَ: إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلاَ يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا
Dari Ummu Salamah yang (sanadnya) ia sambungkan (ke Rasulullah). Beliau bersabda: “Apabila 10 (Dzulhijjah) telah masuk dan seseorang memiliki hewan qurban yang akan ia sembelih, maka hendaklah ia tidak mengambil rambut dan tidak memotong kuku.” (HR Muslim)
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُ كُمْأَ نْيُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
Dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi Saw. bersabda: “Apabila telah masuk sepuluh hari (Dzulhijjah) dan salah seorang di antara kalian hendak berqurban, hendaklah ia tidak menyentuh rambut dan kulitnya sedikitpun.” (HR Muslim)
Dari ketiga matan hadits di atas, setidaknya dapat diambil beberapa keterangan sebagai berikut. Pertama, setidaknya ada tiga bentuk matan hadits yang menyebutkan larangan memotong rambut dan kuku itu. Ketiganya dari jalur istri Nabi Muhammad saw, yaitu Ummu Salamah.
Ketiganya memiliki perbedaan redaksional, namun substansinya sama. Ada yang memakai redaksi “rambut dan kuku”, ada yang “rambut dan kulit”, ada yang “hendaklah tidak menyentuh” dan ada pula yang “hendaklah tidak mengambil”.
Keterangan kedua, ketiga hadits di atas berderajad shahih. Karena diriwayatkan oleh imam Muslim dan yang lainnya. Namun karena memiliki perbedaan redaksional, kuat kemungkinan terjadinya riwayat bil makna, atau periawayatan yang melibatkan interpretasi personal perawi.
Ketiga, tidak ada makna yang eksplisit (jelas atau sharih) dari ketiga hadits tersebut mengenai apa yang dilarang untuk dipotong. Apakah bagian dari tubuh binatang qurban ataukah tubuh orang yang berqurban. Sehingga di kalangan ulama (khususnya ulama kontemporer) ada yang memaknai bahwa yang dilarang untuk dipotong adalah kuku dan kulit hewan qurban, bukan shahibul qurban (orang yang berqurban).
Bagi yang memaknai larangan tersebut adalah memotong dari bagian tubuh binatang qurban dengan 4 argumentasi. (1) Keberadaan hadits dari Aisyah bahwa ia pernah menganyamkan kalung untuk qurban Rasulullah Saw (agar binatang terlihat gagah) dan setelah itu tidak menjauhi apa yang dihalalkan oleh Allah selama 10 hari awal bulan Dzulhijjah (HR Nasai).
Argumentasi (2), Islam adalah agama yang menganjurkan menjaga kebersihan. Jika kuku dan rambut manusia sudah saatnya dibersihkan, maka tidak harus ditunda sampai 10 hari.
Argumentasi (3) adalah berdasarkan pada psikologi hewani. Bahwa hewan sekalipun akan diqurbankan dan disembelih harus dimuliakan dan direlaksasikan sebelum disembelih. Karena berdampak pada kualitas daging. Hikmah tersebut sama seperti dengan perintah Rasulullah saw agar umatnya menyembelih binatang yang musinnah (telah usia 2 tahun), yaitu selesainya masa pertumbuhan hewan sehingga dagingnya lebih berkualitas.
Argumentasi terakhir (4), yaitu adanya riwayat tentang larangan mengganggu/melukai kulit. Tentu yang pas adalah kulit binatang, bukan kulit orang yang akan berqurban.
Namun demikian, ada juga yang memaknai larangan memotong kuku dan rambut itu berlaku bagi shahibul qurban. Argumentasinya lebih pada alasan jika masalah ini adalah domain ta’abbudi, yang harus diikuti secara taken for granted (apa adanya). Dan melaksanakannya adalah suatu bentuk ketundukan pada perintah agama, sebagaimana yang dikutip oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.
Bagi yang memaknai larangan memotong kuku dan rambut shahibul qurban, juga tidak sampai membawanya kepada tahap haram. Paling jauh hanyalah makruh. Sehingga tidak akan mengurangi keutamaan dan pahala dari qurban yang ia lakukan. Wallahu ta’ala a’lam. (*)