PWMU.CO – Puluhan santri serius menatap sebuah layar lebar yang sedang disorot LCD alias liquid crystal display. Sebuah gambar bergerak berjudul Di Balik 98, Jumat (28/9/18) malam, itu menjadi salah satu hiburan para peserta Orientasi Mobilitasi (OM).
Di tengah-tengah keasyikan mereka menonton film tentang aksi mahasiswa di era reformasi tahun 1998 itu, tiba-tiba terdengar suara yang mengangetkan dari salah satu penonton. “Orang sedang ngapain itu?” tanya Widya Nurmala, salah satu peserta OM itu.
Rupanya, Widya tidak memahami salah satu adegan di film tersebut. Ketika itu layar LCD sedang menampilkan aksi demonstrasi mahasiswa yang riuh, yang akhirnya menimbulkan ricuh.
Bagi Widya, suara-suara yang terdengar dalam adegan itu terasa asing. Ada teriakan-teriakan; ada pula suara menyalak dari senjata aparat. Karena itu dia bertanya: sedang ngapain orang-orang dalam adegan itu.
Widya pantas bertanya seperti itu. Sebab dia ‘menonton’ film tersebut tidak menggunakan mata tetapi hanya mengandalkan telinga. Dan suara demonstrasi serta kerusuhan yang menyertainya belum familiar bagi telinganya.
Sebagai penyandang tunanetra, Widya hanya bisa mengandalkan telinga untuk mengikuti pertunjukan nonton bareng alias nobar yang diselenggarakan oleh Organisasi Santri (Orsan) Panti Asuhan Tunanetra Terpadu Aisyiyah Ponorogo pada kegiatan Orientasi Mobilitasi—semacam ospek untuk para santri baru.
Wiwik Oktavia—salah satu pengasuh panti—menjelaskan, santri tunanetra asuhannya itu sudah terbiasa nobar.
“Mereka cukup mendengarkan jika filmnya berbahasa Indonesia. Kalau berbahasa Inggris, ada penerjemahnya,” jelasnya pada PWMU.CO, Sabtu (29/9/18), melalui pesan WhatsApp. “Selain itu santri panti yang bukan tunanetra bisa memberi penjelasan jika diperlukan.”
Untuk tahun ini, dia menambahkan, kegiatan nobar sudah dilakukan dua kali. “Itu salah satu program dari orsan,” ucapnya.
Menurut Muspita Nur Aini, salah satu panitia orsan, film yang diputar sengaja diambil yang ada pesan moralnya dan tidak membuat baper alias bawa perasaan. “Jadi kita ambil tema film yang nasionalis,” terangnya.
Kegiatan nobar menjadi hiburan tersendiri bagi tunanetra penghuni panti terpadu itu. Seperti yang diakui Nanang Wahyu Nafian. Dia merasa senang dan mengaku bisa memahami film yang diputar.
“Namun sebaiknya para mahasiswa itu tidak usah demo-demo ke jalan. Lebih baik aspirasinya disampaikan lewat karya yang lebih bermanfaat,” komentarnya usai ‘menonton’.
Usai pemutaran Di Balik 98, Ketua Panitia OM Diah Hayu Sekar Harum menguji respon para peserta nobar, “Bagaimana filmnya?” Serentak mereka pun menjawab, “Bagus.”
Maka panitia pun melanjutkan nobar dengan memutar film Eiffel Im in Love 2. Pembagian nasi kotak di nobar sesi kedua ini pun semakin membuat mereka bersemangat.
Santrinya bukan hanya tunanetra
Wiwik Oktavia memaparkan, selain mengasuh penyandang tuanetra, Panti Asuhan Tunanetra Terpadu Aisyiyah Ponorogo juga menampung penyandang disabilitas lainnya.
“Jadi, terpadu itu artinya menampung bermacam-macam santri,” ujarnya sambil memerinci mereka. Yaitu dhuafa (tak mampu, 34), tunadaksa (lumpuh, 3), tunawicara (bisu, 1), tunagrahita (IQ rendah, 2), tunalaras (sulit diatur, 1), dan tunanetra (buta, 37).
Menurut wakil bendahara panti ini, santri dhuafa, yatim, dan piatu dibutuhkan untuk membantu pengawasan dan pendampingan santri tunanetra yang menjadi penghuni mayoritas.
Dalam OM panti yang berada di bahwa Majelis Kesejahteraan Sosial Pimpinan Daerah Aisyiyah Ponorogo, ini santri baru dari kelompok dhuafa dan yatim piatu harus menjalani masa orientasi yang unik.
“Setiap yang baru masuk ke panti wajib ditutup matanya selama dua hari dua malam,” ujar Wiwik. “Untuk pengurus, berlaku satu hari satu malam.”
Seperti yang dilakoni Ustadz Sidik Adi Saputra dari Pekalongan. “Hafidz 30 Juz lulusan Ponpes Tebu Ireng yang pernah di panti Muhammadiyah Magetan itu harus ditutup matanya satu hari satu malam,” terangnya.
Hal itu, ujarnya, dilakukan agar mereka bisa merasakan bagaimana menjadi tunanetra. “Kalau sudah termasuk disabilitas, maka OM tidak berlaku bagi mereka,” ujarnya.
Ternyata untuk menumbukan sikap empati ada pelatihannya. Seperti juga untuk bisa ‘menonton’ dengan pendengaran, ada ilmunya! (MN/WO)
Simak video orientasi mobilitasi ini!