PWMU.CO-Masjid kecil di tengah kampung Plampitan gang VIII Surabaya itu terlihat biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Tembok luar bercat hijau. Kontras dengan rumah di sebelahnya.
Sore itu tampak sepi. Jamaah shalat Ashar sudah pulang semua. Ketika memasuki ruang masjid, di dinding dipajang sebuah pigura besar. Dalam bingkai pigura itu ada sebuah surat kesaksian yang dibuat oleh Roeslan Abdulgani. Isi surat kesaksian inilah yang membuat masjid ini sangat istimewa.
Kampung Plampitan VIII merupakan tempat kelahiran almarhum Roeslan Abdulgani. Dia ini tokoh pejuang Surabaya dan pernah menjadi menteri luar negeri. Rumah orangtuanya persis di depan masjid ini.
Surat kesaksian yang ditulis 9 Mei 1991 itu Roeslan menceritakan: saya lahir 1914 di rumah depan Masjid Plampitan gang VIII. Sewaktu kecil saya, namanya langgar.
”Menurut keterangan orang-orang tua di kampung seperti Bapak Ahmad Djais, Achjab, Haji Ahmad Tayib, Abdul Samad, dan bapak dan ibu saya yaitu H Abdulgani dan Hajah Siti Murad Abdulgani, maka langgar itu sudah berdiri puluhan tahun lamanya. Diperkirakan tahun 1858. Hanya sederhana dari papan dan kayu,” tulis Roeslan.
Baru menjelang kelahiran Roeslan, sekitar tahun 1913, langgar itu dipugar oleh keluarga Abdulgani dengan persetujuan Sinoman Kampung Plampitan.
Dua buah foto yang disimpan di rumah Roeslan menggambarkan anak-anak kampung berfoto di depan langgar sekitar tahun 1955.
Dari foto itu tampak dindingnya berupa tembok, lantai pakai tegel atau mungkin marmer putih. Jendela berbentuk lengkungan. Arsitekturnya mirip dengan gaya langgar atau masjid tahun 1920-an.
”Pada tahun 1920-an, langgar ini sering menjadi tempat tabligh tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Sarikat Islam seperti KH Ahmad Dahlan, HOS Tjokroaminoto, Bung Karno, KH Mas Mansur dan lain-lain pemimpin.”
Kemudian sejak Nahdlatul Ulama berdiri 1926, sambung dia dalam tulisannya itu, pemimpin-pemimpin NU ikut menggunakan sebagai tempat pengajian.
Dari kesaksian Roeslan Abdulgani ini, maka KH Ahmad Dahlan pernah menginjakkan kaki di masjid kampung Plampitan ini.
Keterangan Bung Karno menyebutkan, sejak 1916 nginthil kepada Kiai Dahlan dalam beberapa kali pengajian di Peneleh dan kampung dekat Peneleh.
Kemungkinan besar kampung dekat Peneleh yang dimaksudkan Bung Karno itu adalah Langgar Plampitan VIII ini. Jarak kampung ini dengan tempat kos Bung Karno di rumah Tjokroaminoto Peneleh gang VII sekitar 300 meter. Jarak itu lebih cepat ditempuh melalui gang-gang penghubung antar kampung di bagian dalam.
Di langgar inilah Kiai Dahlan mengajarkan Islam yang menurut Bung Karno sangat mudah dipahami, gampang dilaksanakan, menggerakkan. Dia memakai istilah ajaran Islam yang regeneration (pembaruan) dan rejuvenation (peremajaan).
Model pengajian Kiai Dahlan seperti ini yang mendorong Sukarno remaja yang masih kelas satu HBS mulai tertarik mempelajari Islam. Bung Karno mengaku yang semula paham agamanya remeng-remeng menjadi semakin jelas dan kuat.
Rupanya di zaman itu pengajian Kiai Dahlan disukai tokoh-tokoh pergerakan. Karena itulah dia diundang beberapa kali oleh Tjokroaminoto untuk tabligh di beberapa tempat. Tabligh Kiai Dahlan ini yang mengumpulkan tokoh-tokoh pergerakan seperti Tjokroaminoto, Mas Mansur, dan tentu saja Abdulgani, ayah Roeslan sebagai pengurus langgar.
Langgar itu direnovasi lagi pada tahun 1964 atas dukungan dana dari Yayasan Bantuan Sosial Jatim yang diketuai Gubernur Kolonel Mohammad Wijono. Setelah dipugar namanya menjadi Masjid Plampitan dan bentuknya tidak berubah hingga sekarang.
Nama-nama sanad cerita Masjid Plampitan yang disebut Roeslan Abdulgani juga menarik disimak. Ahmad Djais, namanya sekarang diabadikan menggantikan Jl. Peneleh mulai Undaan Kulon hingga jembatan Peneleh.
Pengabadian nama jalan ini atas usul Roeslan Abdulgani. Pertimbangannya, Ahmad Djais berjasa dalam perjuangan kemerdekaan di Surabaya. Dia ini penjahit baju langganan orang-orang Belanda. Dari pergaulannya dengan orang-orang Belanda inilah dia mendapatkan banyak informasi penting yang kemudian diteruskan kepada pejuang.
Ashari, warga Peneleh, menerangkan rumah Ahmad Djais bersebelahan dengan rumah Roeslan. Rumahnya pernah dipakai sebagai Kantor Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) Jawa Timur. Sekarang menjadi gudang ketika Kantor PWA pindah ke Kertomenanggal.
Nama kedua yang menarik perhatian adalah Achjab. Nama ini mengingatkan pada nama jalan Genteng Achjab. Penamaan ini merujuk kepada nama tokoh yang tinggal di kampung itu. Achjab adalah pejuang kemerdekaan Surabaya yang dikenal baik oleh Roeslan.
Penamaan kampung Genteng memang unik. Ada nama Genteng Arnowo. Di situlah tempat tinggal Doel Arnowo. Dia ini juga pejuang dan pernah menjadi walikota Surabaya. Ada lagi Genteng Muhammadiyah sebab di situ berdiri Perguruan Muhammadiyah yang pertama kali di Surabaya.
Dulu di sini ada SD Muhammadiyah 1 tapi tutup tahun 1997-an. Juga ada SMP Muhammadiyah 1. Tapi saat Muhammadiyah Jatim menguasai gedung di Kapasan, SMP ini dipindahkan ke sana. Kemudian di Genteng berdiri SMP Muhammadiyah 2 sampai sekarang.
Jejak perjuangan Muhammadiyah di kampung Plampitan VIII juga terlihat dari keberadaan TK Aisyiyah 1. Lokasinya 50 meter di timur masjid.
”Ibu saya dulu TK-nya sekolah di situ sekitar tahun 1940-an. Begitu juga kakak-kakaknya,” ujar Ashari. ”Saya dan saudara-saudara saya juga di situ. Waktu SD sekolah di SD Muhammadiyah 2 Peneleh gang VI,” katanya. (sgp)