PWMU.CO – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr H Haedar Nashir Msi berkesempatan hadir di sesi akhir Inservice Training I Pendidikan Khusus Kepala Sekolah (Diksuspala) Batch #2, Kamis (15/11/18).
Kegiatan yang diadakan Majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur tersebut berlangsung selama 4 hari di Grand Whiz Hotel Trawas, Mojokerto, Senin-Kamis (12-15/11/18).
Haedar mengatakan, pendidikan tidak pernah bisa habis. “Pendidikan adalah aset penting. Jika mau merusak suatu bangsa, hancurkan saja sistem pendidikannya,” ujarnya.
Haedar mengakui prihatin dengan mentalitas masyarakat atau elit kita, juga pejabat publik. “Sedikit-sedikit impor, kaum muda mulai konsumtif, tawuran pelajar, korupsi. Banyak kalangan mempertanyakan bagaimana pendidikan di Indonesia?” ungkapnya.
Menurutnya, ini menunjukkan betapa pendidikan menjadi sangat penting dan strategis bagi suatu bangsa. “Karena itu tidak bisa pendidikan dipandang sebagai instrumental semata (hal yang bersifat teknis) oleh karena banyak yang terlibat di dalamnya,” jelas pria kelahiran Bandung, 28 Februari 1958 tersebut.
Haedar mengatakan, melakukan kerjasama-kerjasama menjadi penting bagaimana mengkomunikasikan partnership (kemitraan) dengan sekolah-sekolah internasional, seperti Nurul Jadid yang bekerjasama dengan Konsulat Jenderal Cina agar penyebaran dan publikasi dari sekolah-sekolah semakin luas.
“PWM Jawa Timur bidang Dikdasmen ingin naik kelas, tapi naik kelas tidak boleh sendirian. Guru adalah aktor yang menentukan kualitas pendidikan,” tuturnya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tersebut mengatakan, guru Muhammadiyah harus punya perspektif keguruan dalam makna yang mendalam.
Pertama, perspektif teologis. “Pendidikan Muhammadiyah sebagai bagian dari misi dakwah, bahkan pendidikan sebagai elemen atau bagian dari ajaran Islam. Dalam Islam, pendidikan sebagai pranata keagamaan untuk membangun peradaban,” jelasnya.
Karena itu, lanjut Haedar, pendidikan di Muhammadiyah adalah pendidikan Islam modern yang ingin membentuk generasi ulil albab (orang yang berpikir). “Sesuai tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi yang punya akal pikiran, fisik yang sempurna, dan hati sebagai sumber spiritualitas, moralitas untuk memakmurkan dunia,” paparnya kepada 120 peserta Diksuspala. “Tiga elemen tersebut harus dihidupkan dan disuburkan.”
Kedua, perspektif ideologis. “Muhammadiyah lahir, satu di antara kepeloporannya adalah mewujudkan pranata sosial pendidikan modern yang lembaga pendidikan ini benar-benar melembaga,” ujar ayah dua anak tersebut.
Pendidikan Muhammadiyah, kata dia, menjadi pendidikan yang melembaga sehingga membentuk sistem. “Artinya nilai-nilai pendidikan Islam harus mewujud pada sistem, bukan pada orang personal. Kepala sekolah sepandai apapun harus mewujud pada sistem,” jelasnya.
Haedar mengingatkan, pendidikan Muhammadiyah adalah bentuk kritis terhadap pendidikan pesantren kala itu. “Guru Muhammadiyah tidak boleh gaptek (gagap teknologi). Guru-guru yang gaptek adalah guru yang expired (kadaluwarsa) dan sudah harus masuk gudang,” ujarnya.
Lulusan program Doktor Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut mencontohkan orang-orang terkaya di dunia seperti Bill Gates dan Jack Ma yang semuanya bergerak di bidang Information and Technology (IT). “Pendidikan Muhammadiyah harus rekonstruktif, seperti penggabungan pendidikan pesantren digabung dengan pendidikan umum,” tuturnya.
Ketiga, dimensi organisatoris. “Maksudnya ada dalam payung organisasi. Yang maju harus maju bersama, tidak ditinggal sendiri,” ujarnya.
Haedar berharap, watak khas yang ada pada diri kita itu selalu ingin maju. “Jika ingin maju, banyak berkomunikasi dengan orang yang berpikiran maju,” pesannya.
Ia juga mengingatkan, jabatan itu berat karena amanah. “Jangan pernah minta jabatan, tapi jika diberi amanah tidak boleh menolak. Di organisasi, rotasi mutasi jabatan itu biasa,” tutur Haedar.
Keempat, aspek paedagogik. “Harus selalu ada kemauan untuk belajar, jangan merasa cukup. Belajarlah sampai S2 dan S3. Dan setelah S3, jangan pindah kelas jadi dosen,” tegasnya.
Haedar berpesan, guru-guru Muhammadiyah tidak terpengaruh dengan sertifikasi sehingga menghambat mereka berkarya dan berkemajuan. “Guru harus menjadi pendidik. Saat ini banyak fasilitas yang disediakan. Seharusnya guru menjadi lebih mudah, kreatif, dan inovatif saat mengajar,” harapnya.
Kelima, aspek strategis. “Kepala sekolah akan menjadi sosok sentral untuk membangun kemajuan pendidikan yang strategis,” ujarnya.
Strategis Muhammadiyah, kata dia, terkait pemberlakuan rombongan belajar (rombel) yang harus mengutamakan kualitas, bukan kuantitas. “Saya yakin dengan kualitas, masyarakat tetap akan lari ke kita. Tanamkan almamater pride (kebanggaan almamater) pada siswa, tanamkan kebanggaan pada diri siswa bahwa mereka sekolah di Muhammadiyah,” jelasnya meyakinkan peserta.
Menurutnya, guru Muhammadiyah jangan berpikir apa adanya. “Guru harus haus ilmu, haus suasana-suasana diskusi, tradisi iqro harus benar–benar tertanam dalam benak guru,” tambahnya.
Keenam, aspek karakter. “Membangun karakter siswa harus dimulai dari kepala sekolah dan guru. Seperti karakter mandiri, yang tidak mudah dibantu orang, dan karakter religius,” ujarnya.
Haedar menegaskan, guru Muhammadiyah tidak boleh takut miskin. “Jadi guru Muhammadiyah insyaallah barakah. Jika sudah maju, cari lawan yang tangguh” tegasnya.
Untuk orientasi ke depan, Haedar mengatakan perlu nilai tambah. “Kepala sekolah dan guru harus menjadi subjek pelaku dakwah. Ketika di masyarakat, juga bisa menjadi roda penggerak,” pesannya. (Hamidah)