PWMU.CO – Tahun 2000 rasanya baru kemarin berlalu ketika kami harus meninggalkan Pulau Madura menuju Tanah Jawa. Niat dan tekad kami hanya satu: Kuliah. Ya, kami harus bisa merasakan bangku universitas agar bisa masuk pusaran peradaban.
Kami berangkat bersama ke Tanah Jawa, tapi dengan tujuan yang berbeda. Saya menuju Malang untuk menimba ilmu di Univertas Muhammadiyah Malang (UMM), sedang adik sepupu saya, Sunanto, menuju Solo untuk menimba ilmu di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Sebelumnya, kami sama-sama lulusan SMA Muhammadiyah 1 Sumenep dan tinggal di Panti Asuhan Muhammadiyah (PAM) Sumenep.
Sunanto lahir di Desa Lobuk, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Sebuah desa terpencil di bagian selatan ujung timur Pulau Madura. Tempat yang jauh dari jalan protokol.
Lulus dari SD Negeri Lobuk, Sunanto masuk Pondok Pesantren Sumber Mas, di Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep, sekaligus menempu pendidikan di MTs Sumber Mas Ganding. Di sinilah watak keislaman mulai ditempa dengan pendidikan formal di tsanawiyah dan kajian kitab kuning di pondok pesantren.
Sebagaimana kebanyakan keluarga di desa kami yang kurang mampu, selepas tsanawiyah, putra pasangan Muatram dan Zakiyah ini melanjutkan pendidikan di SMA Muhammadiyah 1 Sumenep. Bersekolah di sini gratis, semua ditanggung oleh PAM Sumenep.
Panti yang terletak di Jalan Pahlawan Gang IV Nomor 1 ini memang membina anak yatim dan anak kurang mampu. Anak-anak yang dibina di panti ini berasal dari Sumenep daratan—sebutan untuk wilayah Sumenep yang berada di pulau Madura—juga dari Sumenep kepulauan, seperti Sapeken, Kangean, Sepudi, Raas, Masa Lembu, dan lain-lain.
Selama di SMA, ragil tiga bersaudara ini sangat aktif berorganisasi. Mulai Pimpinan Ranting Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) sampai Pimpinan Daerah IRM Sumenep—kini IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah). Tak lupa juga aktif di Pramuka—selain di SMA juga di Polres Sumenep dalam Saka Bhayangkara.
Setamat SMA, Sunanto melanjutkan studi ke UMS dan menetap di Pondok Pesantren Hj Nuriyah Sobron. Selama di perguruan tinggi, Sunan—biasa kami memanggil—mulai aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Bakat organisasi yang dimiliki semakin terasah tajam, hingga ia berhasil menjadi Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) IMM Jawa Tengah. Saat di DPD IMM Jateng ini, hatinya tertambat pada Immawati Mahtumatul Qolbi Aprilia yang kala itu menjadi Bendahara DPD IMM Jateng. Perempuan berlatar belakang Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) Jateng ini kemudian dipersunting dan dinikahi pada bulan Januari 2007.
Selepas kuliah Sunanto masih melanjutkan karir di DPP IMM sebagai Kabid Hikmah. Bahkan ia sempat maju sebagai calon Ketua Umum DPP IMM bersaing dengan Ton Abdillah dan hanya kalah satu suara. Ya satu suara.
Kekalahan ini tak membuat patah arang. Seperti pepatah Madura, sekali sapi dilepas, tak mungkin ia bisa dibelokkan. Ia telah melesat, meninggalkan garis start menuju finish. Menang atau kalah hanya kepastian akhir yang akan menentukan.
Ayah dari Qiesha Joang Ikatan dan Queen ini masuk di jajaran Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Bahkan di Muktamar XVI di Padang, Sumatra Barat, ia berhasil masuk sebagai salah seorang formatur dan terpilih menjadi Ketua Bidang Hikmah dan Kebijakan Publik. Tidak hanya itu, ia juga berhasil menjadi Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pemilu untuk Rakyat (JPPR) periode 2017-2019.
Keaktifannya di Pemuda Muhammadiyah mengantarkan Sunanto menjadi pribadi yang matang. Di saat banyak pimpinan yang masuk resuffle, ia tetap bisa bertahan. Dan di Muktamar XVII Pemuda Muhammadiyah di Yogyakarta, ia maju sebagai kandidat calon ketua umum, bersaing dengan para calon yang lebih tenar dibanding dirinya.
Anak petani dari pesisir karang Madura ini akhirnya mampu membuktikan dirinya menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Periode 2018-2022. Selamat! (*)
Sidorajo, 29 November 2018
Kolom oleh Moh. Ernam, Alumni Panti Asuhan Muhammadiyah Sumenep, Guru SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo.