PWMU.CO – Negara Kesejahteraan (Welfera State) adalah konsep strategis yang harus direalisasikan pemerintah di tengah pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) yang bersifat taktis itu. Demikian pemikiran yang dilontarkan Prof Boediono saat berbicara pada Pleno I Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan (KNIB), di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Senin (23/5) pagi ini.
(Baca: Puluhan Tokoh Nasional Siap Hadiri Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan)
“Untuk itu kita perlu memikirkan kembali bagaimana strategi mewujudkan konsep Negara Kesejahteraan tersebut,” kata Budiono, yang bersama Prof Malik Fajar, Prof Din Syamsuddin, dan Prof Taufik Abdullah menjadi pembicara dalam sesi pertama yang dimoderatori Hajriyanto Y. Thohari, MA.
Menurut Wakil Presiden RI 2009-2014 ini, Negara Kesejahteraan adalah konsep pemerintahan, di mana negara memegang peranan yang sangat penting dalam rangka meningkatkan sosial ekonomi, politik, dan hak-hak sipil warga negaranya. Konsep ini, kata Boediono, didasarkan pada asas pemerataan dan distribusi yang adil. “Negara mengambil alih tanggungjawab untuk mencapai standar hidup warga negaranya,” ujarnya.
Boediono mengatakan, cita-cita Negara Kesejahteraan sejak awal sudah ada, seperti yang bisa dilihat pada platform dalam BPUPKI, PPKI, sampai terbentuknya UUD 1945. “Intinya negara mempunyai peran untuk memproteksi hak-hak warga negaranya menuju kesejahteraan yang sebenarnya,” ujar mantan Gubernur BI yang pernah mengenyam pendidikan Muhammadiyah saat sekolah di SD Muhammadiyah Blitar, Jawa Timur.
(Baca juga: Ternyata, Gurulah yang Membuat Mantan Wapres Boediono Sangat Terkesan sebagai Alumni SD Muhammadiyah!)
Negara kesejahteraan ini, menurut Boediono, merupakan tujuan akhir dalam meningkatkan kesejahteraan warga negaranya. Boediono mengatakan, dalam Negara Kesejahteraan, negara memegang peranan penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan ekonomi rakyat yang didasarkan pada asas pemerataan. Dalam konsep ini, kata Boediono, ada peluang yang sama bagi semua warga untuk distribusi yang adil. “Negara mengambil alih untuk menolong rakyat mencapai standar minimal, hak politik, hak sipil dijamin oleh negara,” katanya.
Penerapan Negara Kesejahteraan, kata Boediono, memiliki dua manfaat: pertama, kohesi persatuan bangsa lebih terjamin. Negara bisa mengarahkan bidang tepat sasaran seperti wajib belajar 12 tahun, anggaran pendidikan minimal 20 persen, atau dana abadi. Kedua, berfokus pada penguatan generasi muda yang unggul. “Bagaimana pelaksanaannya?” tanya Boediono. “Dalam kenyataannya belum semua program kesejahteraan bisa berjalan mulus,” jawabnya.
(Baca juga: Penjelasan Ketua Umum PP dalam Konsolidasi Nasional Muhammadiyah)
Boediono lalu memberi langkah-langkah strategis. Pertama, pemerintah harus melakukan konsolidasi dari program yang banyak tadi sesuai bidangnya supaya lebih efisien di masing-masing Kementrian. Kedua, kata Boediono, menyederhanakan dan mengelompokkannya dalam tema-tema besar yang konsisten seperti: kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Dan ketiga membangun strategi nasional sebagai payung yang menyatukan tema-tema tersebut dalam mewujudkan negara kesejahteraan yang dirancang dalam siklus jangka panjang, dan bukan siklus politik 5 tahunan.
(Baca juga: Unmuh Bergotong-royong Sponsori Siaran Langsung KNIB di TV Nasional)
Pengalaman dari berbagai negara, program Negara Kesejahteraan harus komitmen karena mengelola keuangan besar dan jangka panjang, misalnya BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Di sinilah negara memegang kunci sebagai pengelola dana besar. “Yunani dan Brazil adalah contoh negara yang gagal,” kata Boediono mengingatkan.
“Dalam hal ini, negara memegang peran penting dan swasta sebagai komplemen ikut serta memajukan kesejahteraan. Seperti Muhammadiyah yang sudah berpengalaman di bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan ekonomi,” katanya (Tahmid/Hidayatullah/Aan)