PWMU.CO – Beredar luas Surat Terbuka dari lima pendiri PAN Abdillah Toha, Albert Hasibuan, Goenawan Mohammad, Toeti Heraty, dan Zumrotin, yang ditujukan khusus kepada Amien Rais. Naifnya, mereka, terutama Abdillah Toha dan Goenawan Mohamad yang sejatinya adalah pendukung Jokowi, dan sudah lama tak lagi bersentuhan dengan PAN, namun dalam suratnya berani memakai identitas pendiri PAN.
Kalau jeli melihat sepak terjang dan daya pecah belah yang dilakukan rezim saat ini, Surat Terbuka lima pendiri PAN ini jangan dilihat hanya sebagai serpihan, tapi harus dilihat utuh dan sebagai bagian dari rekayasa serius dan terorganisir untuk mempersekusi Amien Rais dan PAN, tentu dengan target utama memecah belah PAN dan kemudian menenggelamkan PAN pada Pemilu 2019. Untuk diketahui, hanya PAN lah partai produk Reformasi yang belum bisa dipecah belah.
Pertama, sebelum Surat Terbuka beredar luas di media, Denny JA melalui Lingkaran Survei Indonesia (LSI) telah memproduk meme-meme anti Amien Rais dan PAN, dan tentunya survei-survei yang secara metodologis dan hasilnya patut dipertanyakan. Untuk diketahui, info yang saya terima, LSI sudah dikontrak Jokowi dengan nilai yang sangat fantastis untuk kepentingan pemenangan Pilpres 2019.
Hampir setiap hari meme Denny diluncurkan di banyak WAG (WhtasApp Group). Saya tahu kalau Denny suka memproduk meme karena kebetulan di beberapa WAG satu grup dengan Denny. Bahkan karena terlalu seringnya membuat meme yang tendensius, Denny dikeluarkan dari “WAG Peduli Negara”, WAG yang berisikan orang-orang penting di negeri ini. Dikeluarkannya Denny, saya kira bukan karena meme-meme tendensiusnya yang menyerang Amien Rais dan PAN, tapi lebih karena watak egoisnya yang hanya mau share tulisan, puisi, atau meme yang dibuatnya, tapi tak pernah mau memberikan komentar apapun. Sehingga banyak usul dari anggota grup agar Denny dikeluarkan.
LSI secara terencana juga terlihat begitu serius membangun opini publik dengan target melemahkan posisi PAN. Survei yang dilakukan tanggal 7-14 Januari 2018 misalnya, PAN hanya “ditempatkan” pada ranking 10, dengan 2,0 persen suara.
Pada survei berikutnya, yang dilaksanakan 12-19 Agustus 2018, persentase suara PAN malah lebih turun lagi menjadi hanya 1,4 persen suara.
Bila dua survei di atas yang menjadi bidikan adalah PAN, maka survei berikutnya, tanggal 10-19 Oktober 2018, secara khusus mencoba membidik Amien Rais. Hasil survei ini menyebutkan bahwa secara popularitas Amien Rais adalah tokoh agama paling dikenal. Responden yang mengaku kenal Amien Rais sebesar 83,1 persen, namun hanya 57,2 persen yang menyatakan suka Amien Rais.
Sementara yang menyatakan akan mendengarkan imbauan Amien hanya sekitar 9,4 persen. Perhatikan hasil survei ini. Secara nalar sehat tentu sulit dipahami. Bagaimana mungkin seseorang yang disukai hingga di angka 57,2 persen tapi tak banyak didengarkan imbauannya (9,4 persen). Ini hasil survey yang hanya bisa dipahami dengan logika orang gila.
Hasil survei ini juga menyebutkan, dilihat dari segmen pemilih NU, pengaruh Amien Rais sangat kecil. Warga NU yang mengaku mendengarkan imbauan Amien Rais hanya 6,3 persen. Sementara yang menyatakan tidak mendengarkan imbauan Amien sebesar 81,8 persen.
Survei ini terlihat kasat mata mencoba membenturkan Muhammadiyah dengan NU. Survei terkait pengaruh Amien Rais di kalangan warga NU tak perlu disurvei pun pasti hasilnya sangat kecil. Tapi beruntung dan bahkan hebat, Amien Rais masih punya pengaruh 6,3 persen di kalangan NU. Angka “sebesar” 6,3 persen ini bisa jadi surveinya yang ngawur. Angka 6,3 persen itu tinggi. Kalau misalnya warga NU berjumlah 100 juta saja, berarti Amien Rais punya pengaruh di 6,3 juta warga NU. Tapi kalau pun surveinya benar, pengaruh Amien Rais sebanyak 6,3 juta warga NU sangat mungkin di kalangan NU kultural yang terpelajar. Di luar varian kultural-terpelajar saya kira sangat anti-Amien Rais.
Memang dalam setiap survei jelang Pemilu, PAN selalu ditempatkan secara tidak terhormat oleh survei-survei yang dilakukan LSI Denny. Namun terbukti dalam setiap Pemilu, PAN selalu berhasil melampaui angka di atas 6 persen. Pemilu 1999 PAN mendapat 7.528.956 (7,12 persen) suara dengan 34 kursi, Pemilu 2004 dapat 7.303.324 (6,41 persen) dengan 52 kursi. Pemilu 2009 dapat 6.254.580 (6,01 persen) dengan 43 kursi. Bahkan pada Pemilu 2014 ketika media sosial mulai ramai menghiasai jagad politik Indonesia, PAN berhasil meraup suara 9.481.621 (7,59 persen) dengan 49 kursi.
Kedua, pernyataan Boni Hargens—siapapun tahu adalah pendukung Jokowi— yang sering usil terhadap Amien Rais dan PAN. Boni yang mantan Komisaris Antara misalnya pernah usil terkait kasus Taufik Kurniawan. Boni menyatakan bahwa Amien Rais sengaja mengorbankan Taufik agar anaknya Hanafi Rais bisa menggantikan Taufik sebagai Wakil Ketua DPR RI. Ini namanya pernyataan usil dan tidak bisa dianggap berdiri sendiri, tapi harus dilihat sebagai bagian dari upaya mempersekusi PAN dan Amien Rais. Rasanya Boni tidak mungkin berani usil terhadap PAN kalau dia hanya “bekerja” untuk dirinya.
Untuk diketahui, PAN telah memutuskan untuk mengambil sikap status quo atas jabatan Wakil Ketua DPR RI yang ditinggalkan oleh Taufik. PAN tidak akan mengisi jabatan tersebut hingga periode DPR RI hasil Pemilu 2014 berakhir.
Ketiga, dalam kasus Ratna Sarumpaet, hanya Amien Rais yang dimintai keterangan oleh kepolisian. Sementara ada banyak tokoh lainnya yang memberikan statement yang serupa dengan Amien Rais, seperti Rizal Ramli, terkait penganiayaan Ratna yang ternyata bohong, tak ada satu pun yang dipanggil kepolisian. Aneh bukan?
Rangkaian kejadian ini jangan dilihat kasus per kasus, tapi harus dilihat secara utuh sebagai satu rangkaian dari upaya serius untuk mempesekusi Amien Rais dan PAN.
Kenapa Amien Rais dan PAN?
Kalau ditilik dari peta dukungan pada Pilpres 2019, PAN, termasuk pendukung utama pasangan Prabowo-Sandi. Partai pendukung lainnya adalah Gerindra, PKS, dan Partai Demokrat.
Dari keempat partai ini, rasanya hanya Amien Rais (PAN) yang getol mengkritisi polah rezim yang berkuasa saat ini. Rasanya saat ini generasi yang seusia Amien Rais hanya tinggal Amien Rais sendiri yang masih bisa bersikap kritis terhadap penguasa. Sementara yang lainnya lebih suka memilih diam membisu sambil beberapa di antaranya menikmati cipratan jabatan dengan menjadi komisaris, direktur BUMN atau jabatan “penutup mulut” lainnya.
Sulit untuk menyebut kritik-kritik Amien Rais beraroma kepentingan atau ambisi politik pribadi. Kalau kritik-kritiknya karena ambisi pribadi, pasti Amien Rais akan lebih memilih mendukung Jokowi atau setidaknya diam. Diamnya Amien Rais saja sudah merupakan dukungan, apalagi dibarengi dengan ketegasan sikap politik mendukung Jokowi.
Mendukung rezim dengan seambrek kebobrokan rasanya bukan tipikal khas dari Amien Rais. Sejak lengsernya kekuasaan Orde Baru, rasanya hanya Amien Rais yang paling tidak bisa diam untuk mengkritisi penguasa.
Dalam konteks demokrasi yang sehat, yang mendambakan adanya check and balances, sikap Amien Rais mutlak dihadirkan. Sementara dalam demokrasi yang sakit seperti yang terjadi saat ini, tentu sebaliknya, akan alergi terhadap semua bentuk kritik.
Jamaknya, demokrasi memang kata yang paling tidak disukai oleh mereka yang tengah dimabok kekuasaan. Maka setiap yang mencoba menggangu kekuasaannya sebisa mungkin akan dihabisi atau dibungkam. Di sinilah kekuasaan, meminjam istilah Thomas Hobbes, telah berubah menjadi Leviathan dalam pengertian yang buruk.
Nah, saat ini hanya tinggal Amien Rais (PAN) yang dinilai paling kritis terhadap rezim yang berkuasa saat ini. Maka wajar bila upaya apapun mencoba dilakukan untuk melumpuhkan kekuatan Amien Rais dan PAN.
Upaya adu domba sudah terlalu sering dilakukan, utamanya antara Amien Rais dengan Ketua Umum Zulkifli Hasan, namun selalu gagal. Persekusi terhadap Amien Rais juga terlalu sering, dari mulai rumahnya dirusak orang tak dikenal sampai upaya pembunuhan dengan modus kecelakaan. Sekian. (*)
Lembah Cirendeu Ciputat, 26 Desember 2018.
Kolom oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy, Dosen Program Studi Ilmu Politik UMJ dan Presidium Aliansi Pencerah Indonesia (API) Prabowo Sandi.