PWMU.CO – Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dr Syamsuddin MA menyatakan ulama tarjih Muhammadiyah dituntut untuk mampu mengembangkan ilmu falak lebih baik dibandingkan dengan lainnya.
Pasalnya, Persyarikatan Muhammadiyah telah memutuskan bahwa penentuan awal Ramadhan ataupun satu Syawal, serta tata cara ibadah lainnya yang berkaitan dengan perhitungan waktu ibadah harus menggunakan ilmu Falak.
“Jadi seyogyanya, ulama tarjih Muhammadiyah harus lebih kuat dan harus lebih semarak lagi dalam mengembangkan ilmu Falak dibanding lainnya,” katanya ketika membuka acara Ngaji Bareng Ilmu Astronomi bagi Kader Trainer Falak atau Hisab, Sabtu (23/2/19).
Agenda tersebut diadakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jatim di Gedung Muhammadiyah Jatim Jalan Kertomenanggal IV/1 Surabaya. Ada 50 kader ulama tarjih Muhammadiyah se-Jatim yang mengikuti acara tersebut.
Syamsuddin menerangkan, salah satu keputusan penting dari Munas Tarjih di Padang adalah penentuan satu Ramadhan ataupun satu Syawal. Yang mana, antara rukyat dengan melihat langsung dan rukyat dengan teknologi (astronomi) memiliki kekuatan yang sama.
“Satu tidak lebih utama dibandingkan lainnya. Bahkan, yang diutamakan adalah perhitungan astronomi karena perhitungan astronomi itu mampu membaca sesuatu yang ada balik awan,” terangnya.
Ia melanjutkan, Munas Tarjih di Padang juga menghasilksn kriteria wujudul hilal. “Berapa pun ketinggian atau derajatnya menurut perhitungan astronomi, asal bulan sudah wujud, maka jatuhlah tanggal,” paparnya.
Syamsuddin mengungkapkan, karena itulah Muhammadiyah menerima banyak kritik lantaran menggunakan perhitungan astronomi sebagai dasar penentuan awal Ramadhan maupun satu Syawal.
“Kelompok Salafi misalnya, menuding Muhammadiyah telah melakukan bid’ah. Sebab pada zaman Nabi tidak ada orang yang menggunakan perhitungan astronomi dalam penentuan awal Ramadhan atau satu Syawal,” terangnya.
Bahkan, lanjut dia, ada satu golongan yang mengatakan Muhammadiyah sebagai ahli sunah dan anti bidah. Tapi dalam penentuan awal Ramadhan atau satu Syawal lebih memilih bidah dibandingkan Sunnah.
“Dalam teori maslahat, setiap ketetapan hukum yang terjadi pada zaman Nabi selalu terkait dengan situasi, kondisi, dan ruang serta waktu. Ketika itu, umat belum pernah diajari ilmu astronomi dan masyarakat waktu itu masih awam soal itu,” ujarnya. (Aan)