Minoritas Politik
Pancasila diterima, tetapi sila Ketuhanan menempati urutan pertama, dengan penambahan dengan kewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Isi Pancasila versi Piagam Jakarta: 1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan; 5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Piagam Jakarta diterima bulat oleh BPUPKI dalam Sidang II, 10-16 Juli 1945, tentunya setelah melalui perdebatan sengit. Hasil sidang ini kemudian dilaporkan oleh perwakilan BPUPKI (Soekarno, Moh Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat) kepada pemerintah Militer Jepang se-Asia Tenggara, Jenderal Terauchi di Saigon pada 12 Agustus 1945. Hasil pembicaraan ini adalah terbentuknya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dengan Soekarno sebagai Ketua dan Moh Hatta sebagai Wakilnya.
Sehubungan dengan semakin kritisnya posisi Jepang, PPKI belum sempat dilantik. Bahkan, Jepang sendiri menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Pada tanggal yang sama, 3 pemimpin Indonesia itu baru sampai di Singapura dalam perjalanan pulang ke Indonesia, dan belum tahu jika Jepang menyerah. Menurut Aminuddin Kasdy, hal inilah yang menjadi perselisihan dengan para pemuda yang menyandera saat ketiganya mendarat di Kemayoran Jakarta pada 15 Agustus sore, dan dibawa ke Rengasdengklok.
Pada 16 Agustus sore, atas jaminan Achmad Soebardjo, Soekarno-Hatta bisa dibawa keluar dari Rengasdengklok menuju rumah Laksmana Maeda di Pejambon. Dalam rapat inilah terungkap, bahwa deklarasi kemerdekaan Indonesia sebenarnya akan ditandai dengan pembacaan Piagam Jakarta, sebagaimana Amerika Serikat menyatakan Declaration of Independence pada 14 Juli 1776. “Rencananya Piagam Jakarta yang akan dideklarasikan, tetapi saat itu tidak terbawa,” ungkap Aminuddin.
Akhirnya, ketiganya merumuskan teks proklamasi kemerdekaan, dengan Soekarno sebagai penulisnya. Kalimat Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia merupakan usulan dari Soebardjo. Sedangkan kalimat Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya adalah buah pikiran Hatta
Satu hari pasca-Proklamasi, tepatnya 57 hari umur Piagam Jakarta, sila pertama Pancasila mengalami perubahan yang cukup signifikan. “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dirubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Pencoretan tujuh kata ini terjadi di PPKI, lembaga pengganti BPUPKI yang didirikan pada 7 Agustus 1945.
Menurut Hatta dalam Sekitar Proklamasi, pencoretan tujuh kata itu berkaitan dengan protes pihak Kristen dari Indonesia bagian Timur yang keberatan terhadap bagian-bagian tertentu dari Piagam Jakarta. Untuk mencoretnya, Hatta memanggil perwakilan Islam dan merundingkan masalah itu sebelum sidang PPKI dimulai. Tokoh-tokoh itu adalah Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan. “Umat Islam misalnya dapat saja membuat undang-undang melalui DPR yang sesuai jiwa syariat,” ungkap Hatta.
1 Juni 1945 dikenang bangsa Indonesia sebagai hari lahirnya Pancasila, meski Pancasila sendiri disahkan secara resmi sebagai dasar negara Indonesia pada 22 Juni dan 18 Agustus 1945. Tercatat dalam sejarah bangsa ini, bahwa rumusan Pancasila setidaknya telah berubah sebanyak 5 kali. Setelah rumusan 22 Juni 1945 dan 18 Agustus 1945, rumusan kedua ini juga mengalami perubahan menyesuaikan UUD RIS (27 Desember 1949-15 Agustus 1950), UUD Sementara (15 Agustus 1950-5 Juli 1959), hingga akhirnya dikukuhkan Soekarno melalui Dekrit 5 Juli.
Terkait dengan masalah dasar negara, anggota Konstituante terbelah menjadi dua blok besar dan satu blok kecil. “Blok Pancasila” yang memiliki 274 anggota, termasuk PNI, PKI, PSI, dua partai Kristen, dan IPKI. “Blok Islam” yang mempunyai 230 anggota, di dalamnya Masjumi, PNU, PSII, dan Perti. Sedangkan “Blok Sosial Ekonomi”, dengan 10 anggota, termasuk Partai Buruh dan Murba. “Masing-masing kubu mulai mengindentifikasi siapa yang tergolong insider maupun outsider,” terang Aminuddin mengomentari lahirnya blok-blokan itu.
Berlarut-larutnya perseteruan Blok Pancasila-Blok Islam tentang dasar negara, maka Soekarno pada 25 April 1959 mengajukan usul kepada Konstituante untuk kembali kepada UUD 1945, yang tentunya memantik perdebatan. Karena musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka dilakukanlah voting untuk “setuju” atau “tidak”. Hasil pemungutan suara sebanyak tiga kali selama 1959: 269 setuju vs 199 tidak (30 Mei); 264 vs 204 (1 Juni); dan 263 vs 203 (2 Juni), dari suara minimal yang dibutuhkan untuk memenangkan 316, 313, 312.
Pada 5 Juli 1959, Soekarno Presiden dan Penguasa Perang Tertinggi dengan kekuasaan darurat memberlakukan UUD 1945. Ada dua pokok penting dari Dekrit itu, yaitu pembubaran Dewan Konstituante dan pemberlakukan kembali UUD 1945. Untuk membesarkan hati kelompok nasionalis Islam, Soekarno juga menyebut-nyebut Piagam Jakarta. “Piagam Jakarta adalah suatu dokumen sejarah yang mengilhami keseluruhan UUD 1945 tetapi tidak dengan sendirinya menjadi bagian resmi UUD 1945,” ungkapnya.
41 tahun kemudian, Piagam Jakarta kembali diangkat dalam Sidang Tahunan MPR 1999-2003, meski tuntutan itu bukan lagi pada masalah dasar negara. . Fraksi PPP, PBB, dan Fraksi PDU, mengusulkan penambahan “tujuh kata” Piagam Jakarta sebagai alternatif bagi perubahan Pasal 29 UUD 1945. Pilihan sikap politik itu tentu saja menciptakan ketegangan baru dalam relasi Islam dan negara.
Menurut Syamsuddin Haris, upaya mengangkat isu Piagam Jakarta ini menunjukkan bahwa sebagian politisi Islam masih terjebak pada realitas sosiologis mengenai mayoritas Islam. Seolah-olah mayoritas sosiologis bisa diubah menjadi mayoritas politik, padahal hasil Pemilu 1955 dan 1999 telah membantahnya. “Itu artinya, mayoritas sosiologis umat Islam ternyata menjadi minoritas politik dalam realitas politik,” terangnya.
Kelompok kekuatan politik Islam mestinya menyadari bahwa tujuh kata Piagam Jakarta tidak lagi laku dijual. Ahli Peneliti Utama LIPI itu justru menganalisa, bahwa upaya menggunakan isu tujuh kata Piagam Jakarta hanyalah alat tawar-menawar politik dalam menghadapi partai-partai sekuler. “Dampak lebih jauh dari sikap dan perilaku ini adalah melembaganya kecurigaan terhadap Islam yang sebenarnya telah mencair sejak pertengahan 1980-an,” jelasnya. Baca sambungan di hal 3 …