Tepat pukul 16.00 masjid sudah roboh. Rata dengan tanah. Kades, Sekdes, Kasun, dan Ketua RT baru datang di lokasi. Perusakan baru dapat dihentikan. Pada saat itu turun hujan sehingga Kitab Suci Alquran diambil oleh Suhadak untuk diamankan di rumah Maftuhin.
Pada pukul 17.00 keenam tersangka dan Kardi disidang Kades di rumah warga bernama Warpi’i, yang terletak di depan Masjid Baitul Muttaqin.
Kades bertanya, “Sinten sing ngrusak masjid iki (Siapa yang merusak mushala ini).”
“Kulo (saya),” jawab Nadi.
“Sampean purun ndandosi maleh (Kamu mau membangunnya lagi)?” tanya Kades.
“Mboten (tidak mau),” jawab Nadi.
Kasun mengingatkan Nadi, “Ojo emoh-emoh dipikir disik (jangan bilang tidak mau, dipikir lagi).”
“Stop Pak Kasun, empun dipekso mboten purun nggeh mpun (sudahlah Pak kasun, jangan dipaksa. Tidak mau yang tidak apa-apa),” kata Kades sambil berpesan agar barang-barang yang dirusak biarkan saja. Sidang kemudian dibubarkan.
(Baca juga: Cara Nyai Ahmad Dahlan Mendidik Anak dan 3 Cerita Jatuh-Bangun Kyai Dahlan Mendirikan dan Pertahankan Sekolahan)
Mengapa masjid itu dirobohkan? Apa motifnya? Menurut Ketua PRM Pule, Wajib, tanah yang di atasnya dibangun Masjid Baitul Muttaqin itu adalah wakaf dari warga Muhammadiyah. Kebetulan saat peristiwa perobohan, ia tidak ada di rumah karena merantau ke luar Jawa.
“Jadi, soal tanah tidak ada masalah,” kata Wajib. Meskipun, jelasnya, tanah itu sekarang menjadi sengketa pihak-pihak tertentu, termasuk salah satunya adalah pelaku perobohan. “Tanah ini menjadi sengketa karena saat itu belum diadministrasikan (sertifikat),” kata Wajib kepada pwmu.co Jumat (10/6) pekan lalu.
(Baca juga: Kenapa Orang yang Kelupaan Sesuatu Mudah Ingat saat Shalat? Berikut Penjelasannya dari Aspek Ilmu Otak)
Menurut Wajib, perobohan masjid itu lebih disorong oleh motif fanatisme golongan yang membabi-buta. “Ada yang sakit hati atas keberadaan dan kegiatan dakwah Muhammadiyah. Sepertinya Muhammadiyah tidak boleh ada di Pule,” katanya.
Wajib menghubungkan soal motif itu dengan peristiwa setelahnya. Pada tahun 2006, terjadi ikrar wakaf tanah dan bangunan mushala (berjarak 500 meter dari masjid milik Muhammadiyah sekarang), yang disaksikan PCM Modo, Kasun, dan ahli waris. Sayangnya, kurang dari 2 pekan, ada orang-orang yang memprovokasi, agar ahli waris menarik lagi. “Diciptakanlah suasana keruh. Akhirnya Kepala Desa mengundang pihak-pihak terkait,” kisah Wajib.
Dalam pertemuan itu, pihak PRM Pule mengutus 2 orang. Sementara pihak-pihak yang sebenarnya tidak terlibat, memenuhi balai desa. “Keputusannya, aneh. Tanah dan mushala itu diserahkan pada kelompok lain. PRM tidak berdaya. Apalagi pihak pewakif juga goyah. Itu bentuk sakit hati lanjutan,” kenangnya. Baca sambungan hal 4 …