PWMU.CO –Tujuan puasa, sebagaimana penjelasan surat Albaqarah ayat 183, adalah menjadikan orang beriman agar bertaqwa. Akan tetapi tingkat ketaqwaan seseorang tidak bisa dilihat dari tampilan fisik semata. Hal itu disampaikan dr Tjatur Prijambodo, M Kes dalam ceramah Subuh di Masjid Al Firdaus, Perumahan Graha Sampurna Indah, Wiyung, Surabaya, Rabu (15/6) pagi.
(Baca: Ternyata Banyak Orang Gila di Bulan Ramadhan Ini)
“Jenggot, kening yang hitam, baju koko, celana cingkrang, kopyah atau sorban, bukanlah ciri ketaqwaan seseorang,” tutur pria yang juga memelihara jenggot ini. Dengan mengutip Surat Ali Imron Ayat 134, ayah 4 anak ini menjelaskan ciri-ciri ketaqwaan, yang semuanya tidak menyangkut fisik. “Pertama, ciri orang bertaqwa itu suka menafkahkan hartanya di jalan Allah, baik dalam kondisi lapang maupun sempit. Hal ini menunjukkan konsistensi dan kontinuitas,” ungkapnya.
Kedua, kata Tjatur, orang bertaqwa itu mampu menahan amarah. Menurutnya, pemilihan kata kaadzama, yang bermakna menelan, adalah sesuatu yang luar biasa. “Kalau kita makan, pasti terlihat pergerakan mulut yang sedang mengunyah. Namun kalau langsung menelan, tidak ketahuan,” kata Tjatur.
Penggunaan kata itu untuk menyebut ‘menahan amarah’ (menelan marah), menunjukkan bahwa, marah itu jangan sampai ditampakkan. “Jikalau hal kecil sangat gampang membuat kita marah, bagaimana bisa kita mengharapkan Allah akan mengampuni dosa besar kita.”
(Baca juga: Otak Sehat Bermula dari Perut: Menggali Hikmah Puasa)
Ketiga, kata Tjatur, orang bertaqwa itu dicirikan oleh kemampuan memaafkan kesalahan orang lain. Penggunaan kata afuw, mengandung makna bahwa maafnya orang bertawa itu diberikan kepada siapapun walaupun orang tersebut tidak layak untuk mendapatkan maaf. “Ini pasti berat. Apalagi jika orang itu sering sekali berbuat kesalahan pada kita, bahkan yang tergolong sangat berat,” katanya.
Menurut Tjatur, memaafkan mereka bukan karena mereka membutuhkannya, bukan pula karena mereka pantas mendapatkannya, tapi memaafkan itu bagian dari sifat ketaqwaan. “Semoga ciri-ciri orang bertaqwa itu ada pada diri kita dan terus bersemayam sebagai buah dari puasa Ramadhan yang sedang kita dijalani,” ujarnya.
Selain menyinggung soal ciri orang yang bertaqwa, suami Trinil Anies ini juga menjelaskan tingkatan kebutuhan tubuh manusia pada makanan. “Kebutuhan tubuh pada makanan bisa dikelompokkan dalam tiga tingkatan: hajat, kifayah, dan fudlah,” katanya.
Menurut pengasuh rubrik Konsultasi Kesehatan Majalah Matan ini, pada tingkatan hajat, makanan yang dibutuhkan manusia sekadar untuk bisa menegakkan tulang punggung. Sementara pada tingkatan kifayah (ukuran kecukupan) makanan hanya boleh mengisi sepertiga isi perut. Sepertiga lain untuk minuman dan sepertiga terakhir untuk udara. “Sedangkan jika porsi makanan melebehi sepertiga volume perut, itu disebut fudlah (melebihi batas). Kita jangan sampai masuk kategori terakhir,” kata Tjatur. (MN)