PWMU.CO – Pada tulisan pertama saya menggunakan istilah Zulkarnain. Hal ini karena saya mengikuti yang sudah umum di masyarakat, termasuk terjemahan Alquran. Tapi Alquran sendiri menggunakan dua istilah yaitu zilkarnain (dzilqarnain) di ayat 83 dan zalkarnain (dzalqarnain) di ayat 94). Seperti di Surat Arrrahman, Allah menggunakan istilah dzuljalali wal ikram dan dziljajali wal ikram yang berarti pemilik (dz memiliki) kebesaran dan kemuliaan.
Ada dua nama tersebut berarti itu bukan nama orang. Beda dengan Zulkifli Hasan atau Zuli Daim yang memang nama asli. Zulkurnain berarti panggilan. Bisa berarti siapa nama sebenarnya tidak perlu disampaikan. Demikian pula profesinya, jabatannya jadi rahasianya Allah. “Apalah artinya sebuah nama,” kata sastrawan dunia Shakespeare.
Kemungkinan Allah hanya mau menunjukkan tentang seseorang yang diberi rahmat Allah untuk menolong sesamanya sekaligus menghentikan Yakjuj dan Makjuj. Dalam sosok Zulkarnain sebenarnya Allah hanya mau menunjukkan bahwa rahmat-Nya sangat luar biasa sampai tidak terjangkau akal. Rahmat itu meliputi ilmu Allah yang ilmu manusia tidak bisa menjangkaunya.
Di Surah Alkahfi pula, Allah menggambarkan betapa agung rahmat-Nya itu dengan menyelamatkan Ashabul Kahfi dan penindasan penguasa dzalim. Allah menyembunyikan mereka di dalam goa selama 309 tahun (ayat 25) dalam keadaan tidur tanpa makan minum. Menurut perhitungan akal, orang tidak makan dan minum selama itu akan mati.
Masih di surat Alkahfi pula, rahmat Allah berupa mengabulkan doa petani yang dihina oleh kawannya yang kaya dan punya pengikut banyak. Petani yang didzalimi itu berdoa agar Allah mengirim petir dari langit ke kebun orang yang menghinanya. Allah mengabulkan doanya sehingga kebun itu terbakar musnah. Terkabulnya doa adalah rahmat (ayat 40-41).
Di Alkahfi pula Allah menunjukkan bahwa rahmat-Nya melampaui kehebatan seorang Rasul. Hidhir (nama ini tertulis di Hadits buka di Alquran) bisa jadi adalah manusia biasa. Saya belum menemukan di Alquran maupun di Hadits bahwa Hidlir adalah seorang Nabi atau Rasul atau wali. Tidak pula disebutkan bahwa dia memiliki keistimewaan hidup sampai kiamat.
“Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami beri rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang Kami telah ajarkan ilmu kepadanya dari sisi kami.” (ayat 65).
Bisa dibaca bahwa Hidhir itu manusia biasa galibnya manusia lain. Dia menjadi superistimewa karena diberi rahmat dan ilmu pengetahuan oleh Allah sampai ilmunya melampaui Nabi Musa. Sehingga Allah menyuruh Musa untuk berguru kepadanya. (ayat 66). Semula Musa merasa dirinya yang paling pintar.
Perdukunan
Setahu saya Alquran dan Alhadits menceritakan Khidir hanya dengan Musa. Tidak ada episode lain. Tapi entah bagaimana tiba-tiba berkembang episode-episode kisah orang ketemu Hidhir. Bahkan Khidir itu dinobatkan sebagai pentahbis seseorang untuk menjadi wali. Baru sah menjadi wali jika sudah ketemu Khidir.
Dalam masyarakat Jawa, Khidir juga dinamakan Baginda Kilir. Asal katanya hilir yang biasa digunakan untuk menunjukkan aliran sungai. Entah siapa yang membuat naskah drama ini bahwa Khidir suka pergi menyusuri sungai. Jadinya Khidir seperti jagatirta atau uceng. Sehingga banyak orang yang semedi di pinggir sungai untuk ketemu dengannya.
Lebih alai lagi, Khidir sering dicatut namanya untuk melegitimasi perdukunan. Banyak dukun yang mengklaim dirinya sudah ditahbis dan diberi ijazah oleh Khidir. Tentu saja ijazahnya bersifat gaib atau misterius. Tidak empirik seperti ijazah PAUD atau doktor.
Ada juga yang yakin jika mau ketemu Khidir harus datang ke pertemuan dua laut. Hal itu merunut tempat pertemuan Musa dengan Khidir. Keyakinan itu didasarkan pada pemahaman secara tekstual terhadap Alkahfi ayat 60, “majmaal bahraini”.
Padahal bisa jadi ayat itu merupakan sanepan atau kiasan atau simbolisme pertemuan dua basis ilmu pengetahuan. Allah sendiri menggunakan kiasan laut dalam kaitan ilmu pengetahuan (ayat 109). Dalam episode Musa-Khidir bisa ditemukan pertemuan ilmu yaitu ilmu dhahiri (empirik) dengan yang ruhi, syariat, dengan hakikat, fisikal dengan metafisikal.
Bagaimana kebenaran kisah Khidir episode pascaketemu Musa, Allahu a’lam bisshawab. Yang pasti Allah sudah mengingatkan bahwa di akhir zaman akan banyak orang yang sok tahu, kemeruh bin keminter, melampaui informasi yang diberikan Allah (ayat 22).
Dari kisah Zulkarnain, petani yang terdzalimi, Khidir dapat diserap pelajaran bahwa rahmat Allah itu untuk siapa saja hamba yang dikehendaki-Nya. Tidak dibatasi faktor heriditas, dinasti, mazhab, ras, bangsa, partai, ormas, status sosial ekonomi.
Makanya jangan ada yang kemenyek merasa dirinya paling mendapat keistimewaan rahmat Allah. Sehingga merasa paling benar, paling jago, paling hebat. Bahkan Nabi pun tidak boleh menyatakan dirinya paling. “Katakanlah (Muhammad), sesungguhnya aku ini hanya manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu.” (ayat 110).
Monster Bertanduk
Zulkarnain secara harfiah berarti memiliki dua tanduk. Untuk itu, bagi yang memahami dengan pendekatan harfiah atau tekstual maka diekspresikan secara empirik sebagai manusia mengenakan topi bertanduk seperti manusia Viking. Sejauh ini belum ada yang menggambarkan manusia bertanduk seperti monster atau figuran di film Narnia atau tokoh wayang Mahisasura.
Tapi bagi yang menggunakan pendekatan kontekstual, metode ruhi bahwa tanduk itu hanya simbolisme atau semiotik waktu babak peristiwa. Di tata bahasa Indonesia misalnya ada istilah karirnya di ujung tanduk. Berarti masa karirnya akan segera berakhir.
Dengan demikian Zulkarnain berarti memiliki dua masa peristiwa. Karena Zulkarnain berimpit dengan pentas sejarah Yakjuj dan Makjuj maka Zulkarnain juga akan menjadi tokoh utama di peristiwa heboh Jakjuj dan Makjuj episode kedua.
Episode pertama ketika Yakjuj dan Makjuj dihukum oleh Zulkarnain. Episode kedua adalah ketika Yakjuj dan Makjuj muncul di akhir zaman. Bagaimana heboh dan gemparnya?
Ada kaitan apa Yakjuj dan Makjuj dengan Israel, Danau Tiberias, Yerussalem, Dajjal, Donald Trump dan Brexit? Apa takwilnya tidak ada orang yang mampu melawannya? (Bersambung)
Oleh Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo