PWMU.CO – Menjelang tahun 1945, posisi Jepang mulai terjepit karena satu per satu wilayah strategis antara Australia dan Jepang dapat direbut oleh sekutu. Kondisi ini membuat Jepang berusaha mendapatkan dukungan dan bantuan daerah jajahan: membentuk organisasi (semi)militer dan menjanjikan ‘kemerdekaan’. Di Indonesia, janji ini kemudian berbuah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dilantik pada 28 Mei 1945.
Namun yang tercatat paling menentukan dan mengesankan adalah persidangan mengenai dasar negara. Persidangan mengenai dasar negara ini membentuk dua kubu yang saling berseberangan paham dan pemikiran: nasionalis sekular dan nasionalis Islami.
“Memang disini terlihat ada dua faham, ialah: paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan Negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan Moh. Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan : bukan negara Islam,” demikian catat Soepomo dalam pidatonya pada 31 Mei 1945.
“Agama Islam membentuk potensi kebangsaan lahir dan batin, serta menabur semangat kemerdekaan yang menyala-nyala. Jadikan Islam sebagai asas dan sendi negara!” demikian Ki Bagus Hadikusumo dalam pidatonya pada 31 Mei 1945. “Mudah-mudahan negara Indonesia baru yang akan datang itu, berdasarkan agama Islam dan akan menjadi negara yang tegak dan teguh, serta kuat dan kokoh. Amien!” tegasnya di akhir pidato.
Pada hari yang sama, Muhammad Yamin mengusulkan dasar negara terdiri atas perikebangsaan, perikemanusiaan, periketuhanan, perikerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.
Sehari kemudian, Bung Karno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yang terdiri atas nasionalisme (kebangsaan Indonesia), internasionalisme (perikemanusiaan), mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, serta Ketuhanan yang berkebudayaan.
“Namanya bukan Pancadharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi,” jelas Sukarno yang sekaligus mulai memperkenalkan istilah Pancasila.
Kelak memang terbukti dalam sidang BPUPKI pertama yang membahas dasar negara ini berlangsung sengit, dan tidak menemukan titik temu. Karena kegagalan itu, maka BPUPKI membentuk Panitia 8 yang diketuai oleh Sukarno, dengan tugas menginventarisasi usul-usul para anggota BPUPKI, yang dalam praktiknya sekaligus mencari kompromi dan merumuskan dasar negara dan undang-undang dasar negara. Panitia 8 ini merupakan Panitia yang resmi yang beranggotakan Sukarno, Hatta, Yamin, AA Maramis, Otto Iskandar Dinata, Sutardjo Kartohadikusumo, Ki Bagus Hadikusumo, dan Wachid Hasyim.
Pada kenyataannya, karena situasi zaman perang dunia II yang tidak menentu, Sukarno berinisiatif membentuk Panitia 9: Sukarno, Moh. Hatta, Yamin, A.A. Maramis, dan Achmad Subardjo, Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosuyoso, dan Wachid Hasyim. Panitia inilah yang melahirkan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, yang intinya Pancasila diterima sebagai dasar negara.
Isi Pancasila versi Piagam Jakarta: (1). Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. (2). Kemanusiaan yang adil dan beradab. (3). Persatuan Indonesia; (4). Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan. (5). Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Piagam Jakarta diterima bulat oleh BPUPKI dalam Sidang II, 10-16 Juli 1945, yang tentunya melalui perdebatan sengit. Sejarah berjalan terus. Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, dan sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan.
Keadaan itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin Indonesia dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Barulah sehari kemudian, dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD disahkan dalam sidang PPKI.
Dalam pengesahan inilah terjadi pencoretan 7 anak kalimat dalam sila pertama tentang ketuhanan. Bunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” berubah redaksinya menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Kisah yang menceritakan tentang berbagai drama dibalik pencoretan itu bisa dibaca dalam link berikut: Drama Dibalik Pencoretan 7 Anak Kalimat Pancasila Versi 22 Juni. Sementara tentang peran para tokoh Muhammadiyah dalam melahirkan NKRI dengan Pancasilanya pada 18 Agustus 1945, bisa dibaca pada link berikut: Drama Kelahiran NKRI dengan Tiga Pemeran Tokoh Muhammadiyah. (*)