PWMU.CO – Kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia secara resmi terjadi pada 17 Agustus 1945, bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Sukarno-Hatta. Selain cucuran darah pejuang, kelahirannya juga diiringi dengan ragam drama, perjuangan heroik, cerita epik, hingga sikap kompromistik. Indonesia sebagai sebuah negara hampir saja hilang, jika para tokoh Islam tidak memainkan peran elegan.
Hanya beberapa jam setelah proklamasi, negara Indonesia yang baru dalam kondisi darurat. Pagi itu, 18 Agustus 1945, para pemimpin bangsa yang tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) seharusnya sudah bersidang membahas dasar dan konstitusi negara. Namun, hingga jadwal yang ditentukan, pukul 09.30 wib, acara belum juga dimulai. Dari 27 anggota PPKI yang mewakili seluruh bangsa, belum semuanya hadir di aula bekas Gedung Road van Indie di Jalan Pejambon itu.
Di salah satu bagian ruangan, beberapa tokoh sedang berbincang sangat serius. Mengawali pembicaraan, Moh. Hatta menceritakan tentang kedatangan seorang opsir Angkatan Laut Jepang dari Indonesia Timur yang menemuinya kemarin sore. Kepada Hatta, opsir ini membawa pesan orang-orang Katholik dan Protestan di Indonesia timur yang akan memisahkan diri dari NKRI jika Pancasila tetap memuat sila “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mereka lebih senang berdiri sendiri sebagai negara yang berdaulat jika tujuh anak kalimat itu tetap dipertahankan.
Hatta pun mengadakan rapat ‘pendahuluan’ dengan para anggota ‘kunci’ PPKI: Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Wachid Hasjim, dan Teuku Mohammad Hasan untuk merundingkan keberatan non-Muslim itu. Suasana begitu tegang dan sengit, karena pihak Islam tidak mau begitu saja menerima perubahan. “….Supaya jangan pecah bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan yang Maha Esa,” jelas Hatta tentang drama perubahan sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam memoir “Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun”, Kasman Singodimedjo menceritakan detail peristiwa tersebut. Menurutnya, kegigihan Ki Bagus dalam mempertahankan anak kalimat sila pertama ini membuat Sukarno-Hatta sampai tak berani bicara langsung. Bahkan, Sukarno terkesan menghindar dan canggung. Untuk meluluhkan pendirian Ki Bagus, keduanya mengutus Teuku Muhammad Hassan dan Wachid Hasyim untuk melobi Ki Bagus.
Namun, catat Kasman, Hassan dan Wachid Hasyim tak mampu meluluhkan pendirian Ki Bagus untuk mencoret anak kalimat sila Ketuhanan. Akhirnya Kasman mendatangi Ki Bagus dan berkomunikasi dengan bahasa Jawa kromo inggil untuk membujuk dan meyakinkannya agar luluh menerima perubahan Piagarn Jakarta.
“Kiyai, tidakkah bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah swt,” kata Kasman kepada Ki Bagus.
“Sekali lagi bukan Ketuhanan sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,” demikian Kasman meyakinkan Ki Bagus. Drama penghapusan tujuh kata itu berlangsung sekitar 15 menit, beberapa jam sebelum PPKI mengesahkan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. Peresmian Pancasila sebagai dasar negara dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, maka lenyaplah kekhawatiran non-Muslim bahwa Indonesia mendasarkan dirinya pada salah satu kepentingan golongan.
Peristiwa itu mungkin saja masih diliputi kontroversial, dalam arti melahirkan beragam versi sejarah. Namun dari peristiwa itu, paling tidak dapat dicatat bahwa Ki Bagus telah memberi teladan tentang hidup berbangsa, memprioritaskan persatuan dan kesatuan bangsa daripada kepentingan golongan.
“Meski teguh dalam memegang prinsip dasar negara Islam, akan tetapi demi keutuhan NKRI, Ki Bagus mengikhlaskan penghapusan tujuh kata dalam Pembukaan UUD 1945,” jelas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof Moh. Mahfud MD.
Demi kesatuan, persatuan, dan integrasi nasional, Islam melalui Ki Bagus, Kasman, Hassan, dan Wachid Hasyim menunjukkan komitmen dan toleransi yang sangat tinggi untuk menjaga Indonesia agar tetap utuh. Meski umat ini mayoritas, dan sangat mungkin bisa memaksakan Islam sebagai dasar negara, tetapi mereka sadar bahwa ada agama, golongan, dan penganut ideologi lain yang sama-sama berjuang mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi. Agenda sidang yang membahas pembukaan dan batang tubuh UUD itu pun dimulai pada pukul 11.30 wib. (*)