PWMU.CO – The new normal hanya jargon politik? Sudahkah policy (kebijakan)-nya jelas dan untuk kepentingan siapa? Sudahkah konstitutional atau sekadar fashion belaka?
Demikian pertanyaan dosen senior Universitas Indonesia Chusnul Mar’iyah PhD, salah seorang pemantik dalam Sarasehan Kebangsaan ke-20 Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (PIM). Kegiatan bertema The New Normal Indonesia: Apa Maksudnya, Sudahkah Waktunya, Apa Agenda Semestinya? itu digelar via Zoom, Sabtu (30/5/20).
Dalam paparannya, perempuan asal Babat Lamongan tersebut mengkhawatirkan the new normal, yang hanya sekadar mengikuti tren tanpa memerhatikan prasyarat tadi. Termasuk, apakah the new normal nantinya mengarah pada sistem demokrasi? Atau malah kembali pada sistem otoritarian Orde Baru sebelum Mei 1998.
Chusnul Mar’iyah melihat masalah transparansi pada proses partisipasi yang sangat kurang dalam menentukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2020 dan kemudian diundang-undangkan. “Masalah kemudian, substansinya dari isu keuangan ataukah menyelesaikan Covid-19? Kemudian di situ ada imunitas yang tidak bisa dipidanakan. Bahkan korupsi pun tidak bisa dipidana atau perdata-kan, bahkan di PTUN-kan,” ujarnya.
The New Normal Hanya Jargon?
Dosen politik itu mengingatkan amanat reformasi 1998 adalah menghapus korupsi, kolusi, dan nepotisme. “Sekarang lembaga-lembaga demokrasi posisinya di mana dalam the new normal? Atau hari ini posisinya seperti apa? DPR bagaimana sebagai wakil rakyat menyelesaikan atau terlibat dalam mengontrol, legislasi, dan budgeting secara sungguh-sungguh dalam menyelesaikan Covid-19?” tanya dia.
Juga lembaga-lembaga lain seperti KPK, BPK,dan partai politik sendiri. “Kenapa saya sebut partai politik? Karena sudah diputuskan bulan Desember nanti ada pilkada. Di sini ada persoalan, nepotisme apakah tetap terjadi atau hanya menjadi jargon politik yang disebut the new normal?” tanyanya lagi.
Membicarakan politik, menurut Chusnul, adalah membicarakan kebijakan. “Jadi kalau kita bicara kebijakan, di sini seringkali dikatakan: ‘Oh, jangan politik saja tapi juga kesehatan.’ Perlu diketahui, kesehatan itu juga kebijakan politik kesehatan. Apa yang diambil itu merupakan kebijakan politik, bukan hanya kesehatan,” ungkapnya.
Pilihannya, kata Chusnul, apakah pemimpin mendengarkan para ahli kesehatan dan mengajak IDI (Ikatan Dokter Indonesia)?. “Yang saya tahu, IDI tidak diajak untuk masuk ke dalam gugus tugas, hanya karena menteri kesehatan berkonflik dengan IDI. Di sinilah persoalan anti-intelektual,” paparnya.
Chusnul juga menyoal transparansi data. “Jadi kalau the new normal ini, apakah mestinya datanya landai ataukah masih naik, sehingga kita kembali pada new normal?” cetusnya. Sehingga, lanjut dia, ini hanya menjadi fashion dan jargon dalam konteks ini.
Protokol kesehatannya sendiri seperti apa? Kalau dilihat, new life adalah hidup bersih. Kita hidup dengan gaya bersih. Protokol kesehatan lainnya apa? Yakni dibuka transportasi.
“Tapi pada saat ingin naik pesawat. Kita harus rapid test, dan tesnya itu katanya minimal Rp 450 ribu. Yang kedua adalah harus swab test, yang harganya bisa Rp 2.5 juta hingga Rp 4.5 juta. Ini kita proyek oriented (jualan) ataukah itu memang protokol kesehatan?” tanya Chusnul.
Chusnul juga menyorot fungsi DPR dalam hal ini. Ada di mana posisinya. Jangan sampai rakyatnya dirumahkan, DPR melakukan kegiatan sendiri-sendiri yang kemudian itu isinya adalah legitimasi dari berbagai macam persoalan.
“Hanya ketok palu saja, isu dari Omnibus Law, Covid-19, BUMN, kemudian ideologi negara, dan RUU Pemilu yang sedang digarap. Demokratis atau tidak?” ungkapnya.
Ke Mana Staf Milenial Presiden?
Soal sosialisasi the new normal juga dipertanyakan Chusnul. “Saya juga bertanya-tanya ini, tenaga ahli presiden yang milenial itu ke mana. Kok sepi? Kelompok-kelompok milenial apa yang dilakukan? Rakyat membayar mahal lho,” ujarnya.
Chusnul mengaku pernah protes, kenapa milenial diberi jabatan. “Ya, kecuali milenialnya itu seperti kelompok pemuda Ashabul Kahfi. Anda bertakwa, luar biasa pintar, dan menjadi pembisik dari raja. Tapi kalau rajanya sudah menyatakan dirinya adalah Tuhan, anak-anak muda itu meninggalkan kerajaan. Meninggalkan kemewahan dan semuanya. Dalam konteks ini di mana sekarang posisinya, di dalam sosialisasi tentang Covid-19 ini?,” papar dia.
Menurut Chusnul, isu ketahanan pangan menjadi sangat penting dalam konteks Covid-19 saat ini. “Indonesia punya tanah yang subur, namun faktanya, hari ini impor bawang putih sampai 30 triliun, mengapa itu tidak menjadi substitusi impor? Jadi, Kementerian Pertanian Indonesia bicara ketahanan pangan, karena itu kita bisa menjadi bagian penting dari konteks kompetisi internasional/global yang ada,” jelasnya.
Lalu bagaimana untuk mencapai itu? Harus ada planning, protokol, ajak kampus, dan jangan anti intelektual. “Ajak IDI dan para tokoh. Di sinilah letaknya kebutuhan leadership dan kemampuan empati. Selain itu, kemampuan transparansi dan komunikasi menjadi sangat penting,” ungkap Chusnul.
Sebagai pemimpin umat, kata dia, tentu saja memiliki kesadaran untuk memimpin umatnya masing-masing. Fokus pada melindungi anak bangsa sendiri, umatnya, jamaahnya. Apa yang harus dilakukan? “Kepentingan nasional harus dirumuskan. Disampaikan pada pemimpin negara,” bebernya.
Menurut dia, cara pandang negara Pancasila bukan negara intervensi, tapi kewajiban negara untuk melindungi rakyatnya. Mencerdaskan rakyatnya, menyejahterahkan rakyatnya.
“Maka rumuskan kepentingan nasional ini bersama-sama dari berbagai macam kelompok, dari partai politik ataupun masyarakat sipil,” ujar Chusnul.
Oleh karena itu, lanjut dia, pahami geo politik dan sejarah bangsa. “Sehingga kita bisa merumuskan kepentingan nasional dalam mencari solusi dari Covid-19. Daerah punya kemampuan, maka mari bergandengan tangan,” ajaknya.
Negara ini adalah beragama, Ketuhanan Yang Maha Esa, UUD 1945. Maka jangan lupakan kekuatan doa, selain juga aksi nyata. “Maka dengarlah kata ilmuwan, walaupun secara politik tidak mendukung. Tapi ilmunya digunakan untuk kebaikan bangsa dan negara,” kata Chusnul. (*)
Penulis Darul Setiawan. Co-Editor Mohammad Nurfatoni.