PWMU.CO – Din Syamsuddin jawab tuduhan terhadap apa yang dia sampaikan dalam webinar (web seminar) bertema Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan di Era Pandemi Covid-19.
Webinar yang digelar Masyarakat Hukum dan Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) dan Justice Colloqium itu berlangsung Senin (1/6/20). Pemaparan materi oleh Din Syamsuddin bisa disimak di sini.
“Perlu saya jelaskan bahwa webinar kemarin sebenarnya forum ilmiah para ahli dan peminat hukum tata negara. Baik dari dalam maupun dari luar Muhammadiyah,” kata Din Syamsuddin pada PWMU.CO, Rabu (3/5/2020) malam. Video lengkap webinar bisa disimak di sini!
Menurut dia, panitia bermaksud menjelaskan pengertian pasal-pasal dalam UUD 1945 tentang pemberhentian presiden dan wakil presiden yang dilarang dilakukan di UGM sebelumnya.
Dalam webinar itu, sambungnya, para nara sumber yang terdiri dari para pakar hukum tata negara menjelaskan secara proporsional dan ilmiah tentang hal itu. “Saya bersedia hadir dan karena merasa bukan pakar hukum maka meminta berbicara sebagai Dosen Pemikiran Politik Islam UIN Jakarta,” ujarnya.
Din Syamsuddin melanjutkan, “Dan saya memilih menjelaskan perspektif pemikiran politik Islam tentang kebebasan berpendapat dan pemakzulan pemimpin. Saya mengutip pendapat beberapa ulama politik, dan tentu membandingkan dengan realitas Indonesia.”
Berita Terkait: Din Syamsuddin: Pemakzulan Sesuatu yang Dimungkinkan.
Baca juga: Logika Tidak Beradab Rezim Bungkam Kebebasan.
Hal demikian, lanjutnya, sesungguhnya sudah sering dikuliahkan di ruang-ruang kelas atau mimbar-mimbar akademik. “Maka saya heran kalau ada kampus dan insan akademik yang gelisah.”
Tak Akan Surut Perjuangkan Politik Moral
Sebenarnya, kata Din, saya terbuka menerima kritik asalkan bersifat ilmiah apalagi dari insan kampus yang seharusnya berpikir ilmiah. “Terhadap pernyataan yang bersifat politis dan bernada negatif, ya tidak eloklah,” ujarnya.
Tapi yang pasti, ungkap Din, politik moral yang saya lakukan tidak akan surut, bahkan semakin tertantang untuk lebih maju lagi melakukan amar makruf nahyi munkar. Terutama terhadap kemungkaran struktural dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang menyimpang dari Pancasila dan Konstitusi.
“Justru di tengah upaya kita semua menghadapi pandemi, tidak hanya pemerintah tapi juga rakyat, nurani saya terusik kalau ada kebijakan pemerintah seperti Perppu yang cenderung merusak tatanan kenegaraan yang konstitusional dan hanya akan memberi manfaat bagi kelompok tertentu,” jelasnya.
Begitu pula, ujar Din, rasa keadilan saya terusik kalau pemerintah menunjukkan ketidakadilan. Seperti mendorong bandara dan mall dibuka sementara melarang umat Islam shalat di masjid. Sesuai watak Muhammadiyah sejati hal demikian harus diluruskan.
“Insyaallah saya lakukan ini dengan senantiasa menghindari diri dari penyakit al-wahn, yaitu hubbud dunya wa karahiyyatul maut (cinta dunia dan takut mati). Bagi warga Muhammadiyah jabatan dan kekuasaan hanya sementara. Tidak langgeng lestari, dan harus kita pertanggungjawabkan kepada-Nya,” ujarnya.
Mengenai berita Rektor UMM Fauzan yang mengkritik dirinya, Din Syamsuddin mengatakan, “Maaf, sebenarnya saya tidak ingin menanggapi tapi hanya memaklumi saja,” ungkap Din Syamsuddin.
Bagi saya, sambungnya, memang aneh, beliau yang selama ini hampir tidak pernah berbicara kepada pers, kok tiba-tiba membuat pernyataan negatif terhadap orang lain yang kebetulan pernah menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah.
“Seyogyanya sebagai akademisi beliau bisa melakukan tabayun kepada saya tentang apa dan bagaimana sebenarnya,” tuturnya.
Tapi, lanjutnya, berdasarkan pengalaman selama ini, biasanya ketika ada wacana polemikal seperti ini, tentu berbagai pihak nimbrung untuk memasukkan kepentingannya, tak terkecuali melakukan politik divide et empera.
“Namun, saya berkeyakinan organisasi Muhammadiyah, yang terdiri dari insan-insan arif bijaksana, cukup dewasa dan matang untuk tidak mudah diobok-obok,” ujarnya.
Berita Rektor UMM Kritik Din Syamsuddin
Sebelumnya, seperti diberitakan Nusadaliy.com Rabu (3/6/2020), Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dr H Fauzan MPd mengaku sangat terkejut terhadap apa yang dilontarkan oleh Din Syamsuddin, terkait isu pemakzulan Presiden Joko Widodo.
Seharusnya tokoh sekaliber Din Syamsuddin, memberi contoh bagaimana berperilaku dan berbuat pada saat bangsa dan negara ini tengah menderita akibat dihantam pandemi Covid-19 yang kabarnya, hingga saat ini vaksinnya belum ditemukan.
“Kalau menurut saya, tidak elok Pak Din bicara tentang pemakzulan Presiden Jokowi saat bangsa dan negara ini tengah dilanda pandemi,” katanya.
Lebih lanjut Fauzan menjelaskan, di saat anak bangsa dilanda musibah, seharusnya seluruh komponen bangsa bersatu, tidak pandang bulu, berasal dari latar belakang apapun, mencari solusi demi meringankan sesama.
“Bukan malah mencari panggung atau membuat panggung politik sendiri yang justru akan membuat kegaduhan, yang ujungnya justru menyengsarakan rakyat, yang memang sudah sengsara,” urainya.
Saat ini, kata Fauzan, bangsa tengah menguji kenegarawanan seseorang di tengah pandemi dan rakyat repot nasi.
“Kenegarawanan kita memang tengah diuji, apakah kita memang negarawan yang lebih mementingkan kepentingan bangsa dan negara ini di atas segalanya, atau justru kita termasuk salah satu yang sok negarawan karena tuntutan lingkungan,” pungkasnya.
Bantahan Rektor UMM
Dikonfirmasi PWMU.CO Kamis (4/6/2020) pagi, Fauzan membantah sebagian isi berita itu. “Judulnya provokatif. Sebagian opini wartawan,” ucapnya.
Fauzan lalu bercerita, ketika diwawancarai wartawan dia sempat terkejut dan mengatakan, “Masak sih Pak Din bilang pemakzulan presiden?”
Lalu dia memberikan pernyataan secara umum agar siapapun tidak menjadikan situasi dalam wabah Covid-19 ini menjadi komoditas politik.
“Dengan adanya Covid-19 ini bisa kita jadikan untuk mengukur kenegarawanan seseorang. Jadi pernyataan saya itu bukan khusus untuk Pak Din,” ujarnya.
“Yang saya sampaikan itu, dengan adanya Covid-19 yang mendunia ini, setiap komponen bangsa harus bersatu dan berempati. Mari kita selesaikan Covid-19 ini bersama-sama dengan gotong-royong,” ungkapnya.
Menurut dia, siapapun dan dari golongan manapun harus bertanggung jawab menyelesaikan masalah ini.
Fauzan juga mengingatkan bahwa dibutuhkan kecerdasan pembaca menanggapi berita-berita yang beredar seperti itu. “Masak saya bilang repot nasi segala,” ujarnya. (*)
Penulis Mohammad Nurfatoni.