Muhammadiyah dan Dilema Politik ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya.
PWMU.CO – Di negara demokrasi, partai politik itu penting. Pada masa awal perjalanan Indonesia merdeka, ideologi adalah panglima. Orang masuk partai karena cita-cita; tidak berfikir mau mendapatkan apa untuk dirinya. Bahkan siap berkorban secara material dan immaterial untuk mewujudkan Indonesia yang dicita-citakan.
Dalam suasana seperti itulah, Muhammadiyah bersinggungan dengan partai yang dipandang paling tepat untuk mewujudkan aspirasinya.
Muhammadiyah mengingkinkan Indonesia dibangun atas prinsip-prinsip moral Islam, seperti kemerdekaan, keadilan, kejujuran dan kemakmuran. Itulah substansi syariat Islam yang diperjuangkan untuk mewujudkan Indonesia yang bermartabat.
Sebelum kemerdekaan, keterkaitan Muhammadiyah dengan politik sangat erat. Di zaman Belanda, banyak tokohnya menjadi anggota SI (Sarekat Islam), sebuah partai yang sangat dekat dengan Muhammadiyah dalam hal cita-cita.
Pada zaman pendudukan Jepang, tokoh-tokoh Muhammadiyah menjadi motor MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), yang sekalipun bukan partai politik tetapi menjadi wadah aspirasi politik Islam.
Setelah Indonesia mereka, hubungan Muhammadiyah dengan partai masih tetap dekat. Muhammadiyah terlibat dalam Partai Masyumi bahkan menjadi anggota istimewa.
Setelah terjadi kemelut politik di akhir masa Demokrasi Liberal, Muhammadiyah lepas dari Masyumi dan kembali ke khittahnya. Sikap itu diputuskan dalam bentuk Khittah Palembang 1959. Namun demikian, masih banyak tokoh Muhammadiyah tetap berada dalam Masyumi. Pilihan itu masih didasarkan atas cita-cita karena Masyumi tetap konsisten dalam cita-citanya, yakni baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur dalam bentuk negara yang menganut sistem demokrasi.
Muhammadiyah dan Politik Orde Baru
Memasuki zaman Orde Baru, suasana politik telah berubah. Pemerintah sebagai kekuatan dominan tidak lagi menjadikan ideologi sebagai panglima.
Sebagai gantinya, pemerintah memilih pembangunan (developmentalism). Semua kekuatan sosial dan politik harus menyesuaikan diri atau harus digusur oleh pemerintah.
Pada awal Orde Baru itu, sesungguhnya gairah politik Muhammadiyah muncul kembali karena adanya harapan baru setelah lepas dari kungkungan Orde Lama. Ada ide untuk menjadikan Muhammadiyah partai politik. Ide itu tidak berlanjut.
Muhammadiyah kemudian menjadi bagian dari Amal Muslimin yang menjadi embrio Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Kehendak pemerintah untuk mengendalikan partai politik ternyata tidak bisa dilawan. Akhirnya, keluarlah Khittah Ponorogo 1969, yang sekalipun masih menunjukkan kedekatan terhadap Partai Muslimin Indonesia, tetapi kedekatan itu hanya karena hubungan ideologis, bukan organisatoris.
Ketika semakin jelas bahwa pemerintah dengan kebijakan pembangunannya semakin dominan dalam mengendalikan partai-partai politik, maka Muhammadiyah semakin jelas dalam menentukan sikap non-partisannya.
Sikap itu dituangkan dalam Khittah Ujung Pandang 1971, yang menyatakan posisinya yang benar-benar netral terhadap politik praktis dan partai politik apapun. Dan memberi kebebasan politik kepada warga, baik dengan menggunakan hak politiknya maupun tidak.
Sikap netral tersebut disempurnakan lagi dalam Khittah Surabaya 1978, yang memuat sikap bahwa Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat. Tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan, dan tidak merupakan afiliasi dari, suatu partai politik atau organisasi apapun.
Lebih dari itu, ditegaskan bahwa setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Partai politik pada zaman ini lebih merupakan boneka dari Pemerintah Orde Baru.
Muhammadiyah Pasca-Orde Baru
Setelah Orde Baru runtuh, suasana politik berubah. Muncul harapan baru untuk membangun Indonesia dengan semangat cita-cita. Ideologi pembangunan bukan lagi panglima.
Maka Muhammadiyah mulai lagi bergairah dalam politik kepartaian karena menyadari bahwa dalam alam demokrasi partai politik adalah kunci perbaikan negara.
Namun, ternyata posisi panglima diisi oleh “keuangan yang mahakuasa.” Masuk partai politik perlu uang, menjadi ketua partai perlu uang, menjali calon legislatif perlu uang, dan menjadi calon dalam pilpres dan pilkada juga perlu uang. Jabatan politik identik dengan uang.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa rakyat semakin akrab dengan “uang politik,” sehingga pilihannya juga ditentukan oleh faktor uang.
Sebuah penelitian pada 2009 menunjukkan bahwa suara ulama tidak lagi signifikan bagi pilihan jamaahnya dalam pilkada karena mereka tahu bahwa suara ulama itu juga ditentukan oleh uang.
Karena uang menjadi dominan, maka rekrutmen dalam partai tidak lagi berdasar kualitas. Hubungan antarorang atau antara orang dengan partai menjadi transaksional seperti hanya jual beli barang dalam ekonomi perdagangan.
Prinsip “mengeluarkan sesedikit-sedikitnya, mendapatkan sebanyak-banyaknya,” berlaku dalam dunia politik sekarang ini. Orang bisa keluar masuk partai, berpindah-pindah partai, tergantung pada pertimbangan apakah partai itu bisa mendatangkan keuntungan materi atau tidak. Itulah suasana politik kepartaian kontemporer.
Tidak perlu diragukan bahwa Muhammadiyah memiliki beban berat untuk memperbaiki kondisi bangsa dan negara kita yang telah disandera oleh politik “keuangan yang mahakuasa.”
Muhammadiyah juga sejatinya memberikan kader-kader terbaiknya untuk meluruskan kiblat bangsa. Namun, di situ terdapat dilema politik. Mungkin saja bahwa kader-kader tersebut akan mampu membangun partai yang kuat dan bersih, ataukah sebaliknya, mereka akan terkontaminasi. Mudah-mudahan, mereka tidak menjadi “necessary evil,” kejahatan yang diperlukan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul asli Dilema Politik dalam buku Mendekati Agama: Memahami dan Mengamalkan Islam dalam Ruang dan Waktu (2014) ini dimuat ulang oleh PWMU.CO.