PWMU.CO – Empat masalah pendidikan masa pandemi mengemuka dalam Fortawa online, Sabtu (25/7/20).
“Keluarga, pemerintah, sekolah, dan masyarakat harus bekerja sama untuk mewujudkan pendidikan untuk anak bangsa,” ujar Wigatiningsih MPd .
Dalam sambutan Webinar Fortawa (Forum Taaruf Wali Siswa) kepala SMA Muhammadiyah 2 (Smamda) Sidoarjo ini menjelaskan keluarga merupakan madrasah pertama bagi anak (al ummu madrasatul ula). Saat pandemi menjadi kesempatan bagi keluarga untuk melaksanakan pendidikan lebih banyak dibanding lembaga lainnya.
Pendidikan tidak bisa diserahkan kepada sekolah saja, tapi harus menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat. “Mari bangkit kembali, karena tanpa pendampingan orangtua pendidikan adalah non sense,” ujarnya.
Hal Positif dari Era Pandemi
Dalam kesempatan yang sama, Psikolog Hera Wahyuni MPsi yang didapuk sebagai pembicara pada Webinar Fortasi menjelaskan ada hal positif yang juga terjadi akibat pandemi.
“Sebanyak 62 persen anak bisa menjalankan hidup sehat dan mandiri, lebih sering membantu orangtua, memiliki waktu lebih banyak untuk mempejari keterampilan hidup (life skills), dan keterikatan dengan anak semakin baik,” paparnya.
Dia menjelaskan dulu kita sudah memberi tahu cara hidup sehat, tapi susahnya minta ampun. Justru saat pandemi anak-anak bisa mandiri, cuci tangan, pakai masker, dan makan seimbang.
Permasalahan kedua, lanjutnya, adalah pendidikan. Dampak Covid-19 tidak hanya dirasakan orangtua, tapi juga sekolah dan guru. Transformasi pendidikan di era pandemi bisa dilihat sebagai berikut. Pertama jika dulu tanggung jawab belajar berpusat pada guru sekarang partisipasi orangtua sangat besar.
“Jika dulu ruang belajar adalah kelas di sekolah, saat pandemi berpindah ke rumah masing-masing. Jika dulu media pembelajaran hanya papan untuk semua siswa sekarang satu anak satu media. Jika dulu peran teknologi masih minim sekarang menjadi dominan.”
Akibatnya, sambungnya, muncul kesenjangan terkait layanan pembelajaran daring. Mulai dari kesenjangan fasilitas internet di rumah, kemampuan orangtua dalam mendukung pembelajaran, juga ada kesenjangan kompetensi guru dalam memanfaatkan teknologi dan informasi (TIK).
Alumni S1 Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini memaparkan dampak Covid-19 pada pendidikan menurut UNICEF sebanyak 69 persen anak bosan belajar di rumah. Orangtua juga tambah shock saat Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memaparkan dalam rapat kerja dengan Komisi X bahwa daring akan dipatenkan.
Permasalahan ketiga adalah memahami kebutuhan anak. Orangtua dan sekolah harus mengetahui harapan anak-anak. Misalnya tugas tidak banyak, ada penjelasan dari guru secara maksimal, adanya pertemuan daring (online), penyediaan e-book, dan wisuda tetap diadakan.
Jika, menurutnya, harapan tersebut tidak terpenuhi akan menyebabkan perilaku antisosial, mudah stres, kebosanan, perubahan perilaku, insomnia atau pola tidur tidak teratur dan perubahan pola makan, serta sulit konsentrasi.
“Stres bisa mempengaruhi kesehatan. Dalam jangka panjang bisa migran, penyakit jantung dan stroke, diabetes, tekanan darah tinggi, depresi, dan gangguan kecemasan,” katanya.
Permasalahan keempat, lanjutnya, bagaimana peran orangtua dalam mendampingi anak. Harus ada integrasi peran sekolah dan orangtua.
Kenali Kebutuhan Anak
Hera menjelaskan dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) orangtua harus memakai rumus amati, dengarkan, lakukan, dan hubungkan. Pertama amati. Kenali kebutuhan anak dengan kondisi belajar yang nyaman (akses internet lancar), dan setting gawai agar lebih aman.
Rumus kedua, terangnya, menjadi pendengar yang baik. Mendengar sepenuh hati, menyimak penjelasan anak, merespon cerita anak, dan memberi pengetahuan dan pengertian terhadap masalah anak. Orangtua merupakan konselor terbaik. Kuncinya 80 persen mendengarkan dan 20 persen merespon dengan penjelasan dan solusi.
Ketiga, jelas dosen Universitas Trunojoyo, lakukan kegiatan bersama. Melatih berperilaku baik di rumah seperti masak, berkebun, memberi contoh dan keteladanan, WFH (work from home) dan SFH (study from home) bersama, juga nonton film dan main game bersama.
Keempat menghubungkan. Jika orang mengalami kesulitan dan butuh bantuan bisa menghubungkan dengan para pihak yang kompeten. “Orangtua bisa menghubungi guru atau orangtua yang lain. Bahkan bisa juga menghubungi psikolog, maupun dokter,” tandasnya.
Penulis Muh. Ernam. Co-Editor Ichwan Arif. Editor Mohammad Nurfatoni.