Rapat proklamasi kemerdekaan oleh PPKI dilarang pemerintah militer Jepang pada tanggal 16 Agustus 1945 tengah malam. Bung Karno dan Bung Hatta pun bereaksi keras.
PWMU.CO-Pulang dari Rengasdengklok ke Jakarta, 16 Agustus 1945, mereka singgah pertama ke rumah Bung Hatta. Waktu sudah malam pukul 20.00. Bung Karno, Bung Hatta, dan Mr Subardjo janjian menggelar rapat PPKI di rumah Laksamana Muda Tadashi Mayeda Jl. Meiji Dori 1 (Jl. Imam Bonjol 1) pukul 24.00.
Dalam buku Sekitar Proklamasi diceritakan, sebelum semua pulang ke rumah, telepon berdering. Bung Hatta segera mengangkatnya. Terdengar suara Miyoshi, penerjemah dari Kantor Jepang. Dia menyampaikan pesan Sumobuco Mayjen Otoshi Nisyimura agar Bung Karno dan Bung Hatta menemuinya malam itu juga.
Setelah menerima telepon, para pimpinan langsung pulang untuk mandi dan istirahat sebentar. Mendekati pukul 22.00, Bung Karno sudah menjemput Bung Hatta. Berdua mampir dulu ke rumah Tadashi Mayeda, kepala Perwakilan Kaigun (Angkatan Laut). Miyoshi sudah ada di situ bersama beberapa perwira Jepang. Juga anggota PPKI sudah berkumpul.
Bung Karno menyampaikan terima kasih kepada Mayeda karena bersedia rumahnya ditempati untuk rapat proklamasi kemerdekaan oleh PPKI. Sebab Hotel des Indes Jl. Gajah Mada tak mengizinkan mengadakan pertemuan malam hari.
Setelah itu Bung Karno, Bung Hatta, Mayeda, serta penerjemah Miyoshi berangkat ke rumah Sumobuco Nisyimura. Di rumah ini ternyata membahas soal rencana rapat proklamasi kemerdekaan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
”Sekarang kondisinya berubah. Kalau tadi pagi masih dapat dilangsungkan. Mulai pukul satu tadi siang, kami tentara Jepang di Jawa menerima perintah dari atasan kami tak boleh lagi mengubah status quo,” kata Nisyimura yang diterjemahkan Miyoshi.
Dia melanjutkan, pimpinan tentara Jepang sangat sedih bahwa apa yang dijanjikan terhadap Indonesia merdeka tidak dapat menolong menyelenggarakan. ”Mulai tengah hari tadi tentara Jepang tidak mempunyai kebebasan bergerak. Semata-mata menjadi alat Sekutu dan menurut segala perintahnya,” ujar Nisyimura lagi dengan sedih.
Rapat PPKI Dilarang
Bung Hatta mulai berdebat. Dia katakan, Pemerintah Tokyo sudah mengakui kemerdekaan Indonesia yang disampaikan Marsal Terauci. Pelaksanaannya diserahkan kepada PPKI. Nanti pukul 24.00 mulai rapat proklamasi di rumah Laksamana Mayeda.
Nisyimura menjawab,”Bila rapatnya pagi tadi akan kami bantu. Tapi setelah tengah hari kami tunduk kepada perintah Sekutu. Tiap perubahan status quo tidak dibolehkan. Jadi sekarang rapat PPKI itu terpaksa kami larang.”
Bung Karno menegaskan,”Sekarang seluruh rakyat Indonesia sudah tahu Jepang menyerah kepada Sekutu. Mereka tak lupa bahwa Jepang sudah menjanjikan kemerdekaan Indonesia. Kalau Jepang tidak mampu lagi menepati janjinya, rakyat Indonesia sendiri akan memerdekakan dirinya.”
Sebab itu, sambung Bung Karno, Jepang tak perlu lagi menolong kami. Kami hanya minta jangan dihalang-halangi. ”Semangat rakyat yang bergelora akan diperhatikan Sekutu. Rakyat Indonesia dengan pemuda di depan bersedia mati untuk melaksanakan cita-cita Indonesia merdeka,” tandas Bung Karno ikut berdebat.
Nisyimura menyatakan, dia mengerti dan dapat merasakan sendiri cita-cita rakyat. ”Saya menangis dalam hati. Tapi apa boleh buat. Kami sebagai alat telah menerima perintah bahwa kami harus menghalang-halangi setiap perubahan status quo. Juga gerakan rakyat dan pemuda,” ujarnya.
”Apakah tentara Jepang akan menembaki pemuda Indonesia kalau mereka melaksanakan janji Jepang atas kemerdekaan Indonesia yang Jepang sendiri tak sanggup menepatinya?” tanya Bung Karno.
”Apa boleh buat,” jawab Nisyimura. ”Dengan hati yang luka kami terpaksa melakukannya. Jika kita sabar sementara, saya percaya Sekutu akan memperhatikan keinginan bangsa Indonesia,” katanya.
”Betapa sakitnya terasa, kami bangsa Jepang terpaksa tunduk dan menjilat kepada Sekutu untuk memperoleh nasib yang agak baik setelah kamikalah,” sambungnya dengan sedih.
Bung Hatta Marah
Mendengar jawaban begitu Bung Hatta langsung marah. ”Apakah itu janji dan perbuatan samurai? Dapatkah samurai menjilat musuhnya yang menang untuk memperoleh nasib yang kurang jelek?” sergah Bung Hatta.
”Apakah samurai hanya hebat terhadap orang yang lemah di masa jayanya tapi hilang semangatnya waktu kalah?” sambung Hatta dengan nada tinggi.
Juru bahasa Miyoshi tampak gugup dan tertegun menerjemahkan ucapan Hatta. Dia berusaha memperhalus agar Sumobuco tak tersinggung.
”Baiklah,” ujar Hatta lagi. ”Kami akan berjalan terus apa yang akan terjadi. Mungkin kami menunjukkan kepada tuan, bagaimana jiwa samurai semestinya menghadapi suasana yang berubah.”
Perdebatan berjalan dua jam. Tak ada kata sepakat. Bung Karno dan Bung Hatta memutuskan segera pergi dari rumah itu. Ternyata Mayeda diam-diam sudah pergi lebih dulu meningalkan rumah itu. Tak mau ikut berdebat. (*)
Editor Sugeng Purwanto