Reformasi Tak Terkendali, Perlu Dekrit Kembali ke UUD 1945. Demikian pendapat Ketua PWM Jatim Dr M Saad Ibrahim MA.
PWMU.CO – Sistem politik kontemporer Indonesia yang sudah berjalan 22 tahun pasca-reformasi mendapat kritik tajam dari Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Dr M Saad Ibrahim MA.
Dia menyampaikan hal itu dalam wawancara khusus melalui sambungan telepon, di Malang, Jumat (12/11/2020). Wawancara dilakukan PWMU.CO untuk mendapat prespektif politik menyambut Milad Ke-108 Muhammadiyah, 18 November 2020.
Menurut Saad Ibrahim, sebagian besar pelaku politik kekuasaan masih berpaham menghalalkan segala cara ala Niccolo Machiavelli—atau yang dikenal dengan Machiavelisme. Salah satu indikatornya adalah terjadinya jual beli suara dalam proses perebutan kekuasaan.
Saad Ibrahim menegaskan, dalam praktik politik seperti itu, Muhammadiyah tidak boleh larut di dalamnya. “Kita tidak boleh mengikuti paham-paham yang menghalalkan segala cara walaupun ada kelompok-kelompok yang seperti itu,” ujarnya.
Sekalipun, kata dia, risikonya kalah. “Ketika orang beli suara, sementara jika kita tidak beli suara akan kalah, kemudian kita melakukan hal yang sama (membeli suara) untuk menang, tentu kita tidak bisa berjuang seperti itu,” ujarnya.
“Membeli suara seperti itu seakan-seakan benar tapi sebenarnya kita mengikuti praktik menghalalkan segala cara. Itu kalau kita lakukan akan memiliki konsekuensi yang besar dan jauh ke depan, walaupun kita memiliki tujuan yang suci,” tegas dia.
Saad Ibrahim mengingatkan, walaupun tujuannya baik, yakni untuk mendapat kekuasaan, tapi jika melanggar aturan, tetap disebut melanggar aturan. “Soal kemudian nanti kekuasaan ada pada kita, maka harus tetap mengikuti hal-hal yang baik dan benar. Saya kira itu yang kita ikuti dan kita pandang benar,” jelasnya.
Sebagai ingatan, Muhammadiyah Jawa Timur pada Pemlu 2019 pernah mengamanahi dua orang kadernya untuk terjun di dunia politik praktis. Dan salah satu tantangan atau iming-iming yang dihadapi adalah praktik jual beli suara. “Alhamdulllah kita tidak terjebak dalam permainan kotor itu,” ujarnya.
Perlunya Dekrit Kembali ke UUD 1945
“Hemat saya, yang seperti itu kecenderungannya bukan untuk bangsa ke depan, namun untuk kepentingan-kepentingan golongan dari partai politik,” kritiknya.
“Kalau kita terus seperti ini sulit mendapatkan pemimpin yang baik. Maka saya sampaikan, masa reformasi ini sudah tidak terkendali sedemikian rupa, lalu dengan banyak gagasan-gagasan fundamental yang berada pada UUD 1945 itu menjadi terkacaukan,” tambahnnya.
Oleh karena itu, sambungnya, diperlukan dekrit kembali UUD 1945 untuk menghilangkan seluruh perubahan hasil amandemen. Dengan demikian posisi MPR kembali kuat, termasuk memiliki otoritas memilih presiden.
“Sehingga hemat saya tidak perlu adanya pemilihan presiden secara langsung. Cukup di MPR. Tentu di dalam MPR ada representasi dari kelompok-kelompok besar yang secara real dapat membesarkan bangsa ini,” tambahnya.
Menurut dia, representasi kelompok-kelompok besar di MPR—seperti Muhammadiyah dan NU, juga kelompok dari agama lain: Kristen, Budha, Hindu, dan sebagainya—sangat penting. “Hemat saya, kecil kemungkinan ada tokoh agama seperti ini terkena kasus korupsi,” ungkapnya.
Lebih dari itu, representasi tokoh agama pada lembaga negara seperti MPR memiliki dasar yang kuat, yakni Pancasila.
Agama Sangat Sentral
Berbicara soal politik Indonesia, Saad Ibrahim juga menyoroti mekanisme pemilihan presiden. Menurutnya, besarnya wewenang dan otoritas partai politik dalam mengusulkan calon presiden sangat mengkhawatirkan.
“Sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang dalam itu maknanya agama. Tidak boleh dilawan oleh sila kedua, ketiga, dan seterusnya. Tidak boleh dilawan oleh undang-undang dasar, undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah pusat, atau peraturan pemerintah daerah,” kata dia.
Dengan kata lain, sambungnya, Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah agama. Maka agama adalah posisi yang sangat sentral dalam keindonesiaan itu.
“Maknanya lagi agen-agen agama juga memiliki posisi yang sentral, dalam konteks agen-agen agama ini Muhammadiya, NU, dan lain sebagainya. Sehingga inilah kemudian menentukan kehidupan bangsa dengan mengakomodasi dari agama-agama lain secara proposional sesuai dengan peran dan kondisi objektif,” paparnya
Saad menjelaskan, kalau yang memilih presiden itu MPR, ada demokrasi yang terbatas. Dalam konteks di MPR itu ada anggota DPR yang anggotanya dipilih oleh rakyat. Lalu ditambah utusan-utusan golongan seperti Muhammadiyah dan NU.
Memang, sambungnya, dalam pemilihan presiden seperti sekarang ini, rakyat bisa memilih langsung. Tapi menurutnya, apakah semua rakyat punya pertimbangan baik dan tidak baik terhadap negara ini.
“Ini persoalan yang sangat pelik apabila kita serahkan kepada rakyat semua. Saya katakan kalau suara tukang becak—tidak bermaksud merendahkan siapapun—dengan profesor itu sama, saya kira ini sesuatu yang jauh dari semuanya itu,” jelas dia.
Saad Ibrahim mengingatkan bahwa sistem pemlihan dengan perwakilan itu mempunyai landasan historis. Misalnya terpilihnya Abu Bakar pasca-wafatnya Nabi Muhammad SAW dari hasil musyawarah beberapa perwakilan sahabat yang disebut sebagai ahlu al-hall wa al-‘aqd.
“Maka seperti itu apabila kita ada ahli al-hall wa al-‘aqd yang memiliki track record yang bagus dan memahami masalah kewarganegaraan dalam kenegaraan dan masalah ngatur kekuasaan dan ngatur umat dan sebagainya,” jelas dia.
Tentu, lanjutnya, dalam konteks keindonesiaan, ahlu al-hall wa al-‘aqd ini harus kita perlebar. Termasuk juga di dalamnya ada orang-orang Nasrani, Budha, Hindu, dan sebagainya. Tentu yang mayoritas adalah Muslim. “Saya kira itu yang harus pikirkan ke depan,” ujarnya.
Ditanya bagaimana mewujudkan semua itu, Saad Ibrahim mengatakan, “Segala sesautu yang diwacanakan terus-menerus suatu saat akan nyata terjadi. Wacana Indonesia merdeka itu sangat panjang. Diponegoro dalam Perang Dipenogoro itu juga panjang dan itu terjadi pada tahun 1825-1830. Tapi merdekanya kan hampir seratus tahun lebih. Baru kita merdeka.”
“Sama saja kalau kita ada sesuatu yang kita bicarakan-bicarakan, akan ada kekuatan menjemputnya. Saya beryakinan perkataan kita punya power. Kalau yang mengatakan banyak orang dan serius, maka kekuatan dari langit akan turun mendukung semuanya itu,” tambahnya.
“Soal dekrit kembali ke UUD 1945, sudah ada presedennya, yakni pernah dilakukan Presiden RI pertama: Ir Sukarno,” ujarnya.
Ditanya apakah itu tidak kembali ke kekuasaan otoritarian, Saad Ibrahim mengatakan, “Sampai sekarang kan juga ada otoritarian yang dibungkus oleh demokrasi, seperti itu.” (*)
Reformasi Tak Terkendali, Perlu Dekrit Kembali ke UUD 1945: Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni