Kisah Dendys Sigaras dan Istri, Dialog Permenungan, ditulis oleh Ady Amar, pengamat masalah-masalah sosial.
PWMU.CO – Di beranda belakang rumah sederhana, dengan tanah tidak terlalu luas, sore itu Pak Dendys Sigaras dan istri duduk bercengkerama santai. Segelas kopi dan sepiring pisang goreng tampak di meja. Duduk bermesraan, suasana demikian sudah lama hilang jadi kebiasaan keluarga muda dengan dua anak itu.
Tidak ada yang istimewa dari yang mereka bincangkan, kecuali sang suami mengabarkan sesuatu yang lalu membuat sang istri tampak sumringah. “Jika suasana masih demikian, awal tahun kita bisa pindah ke rumah yang agak besaran, Ma.”
“Iya Pa…, benar Pa…,” sergap si istri dengan merajuk manja.
“Maksud papa jika suasana terus demikian itu apa ya, Pa…”
“Sebaiknya Mama gak usah tahulah.”
“Kenapa kok jadi Mama gak boleh tahu, apa ada yang rahasia, ya? Apa suami pada istrinya harus ada yang disembunyikan ya, Pa?” Sergap sang istri yang memaksa agar sang suami mau membuka rahasia itu.
“Tadi Papa ambil ATM, dan ternyata tabungan kita bertambah. Tampaknya fee DP Papa sudah cair. Papa kaget ternyata lebih dari semiliar saldonya.”
“Haa.. iya Pa, bener Pa… Duh Gusti, terima kasih… terima kasih,” sambil sang suami dipeluknya tanda bahagia.
“Suasana ke depan tampaknya akan makin sentosa buat Papa dan keluarga, meski orang lain mengeluh bisnisnya karena pandemi, tapi gak berlaku buat bisnis Papa ini. Orderan menggoreng dan menggunting si RSH itu tidak cuma sekali, tapi akan berseri-seri. Dan pastilah tabungan kita akan makin gemuk.”
“Hati-hati lho, Pa, jangan sampai Papa keplicuk dan menyeret Papa ke Prodeo. Mama gak mau sampai ada apa-apa dengan Papa. Mama gak siap, janji, ya Pa.”
“Iya, pastilah Ma… Papa itu lihai jika cuma menggoreng dan menggunting, itu kan sudah keahlian Papa. Mama tenang dan berdoa saja, supaya orderan itu cuma dikasih ke Papa aja, atau setidaknya Papa yang paling banyak dapatkan orderan dibanding Mas Abu Badut.”
Tampaknya Bu Dendys tahu persis apa kerja suaminya itu, tapi tentu anak-anaknya yang masih kecil tidak tahu apa kerja sang ayah.
Jika si sulung bertanya pada bundanya, apa kerja ayahnya, maka dijawabnya, kerja sang ayah sebagai intelijen. Pekerjaan intelijen dipakai, karena sang ayah tidak jelas waktu pulangnya. Tidak sebagaimana orang kerja kantoran.
Kadang anak-anak sudah terlelap tidur sang ayah baru mengendap-endap pulang ke rumah dengan penuh kehati-hatian, sepertinya takut alamatnya terendus. Gak tahu persis, apakah intelijen itu jika masuk ke rumah sendiri mesti mengendap-endap begitu seperti Pak Dendys, yang hidup bagai orang penuh ketakutan.
Suasana sore di beranda belakang rumah itu tampak mesra, sedang dua anak-anaknya berlarian di sepetak halaman belakang dengan riang.
Tidak lama kemudian ada suara mengetok-ketok pagar depan rumahnya, karena rumah itu tidak dilengkapi bel, entah kenapa. Maka tamu yang ngetok pintu itu tidak langsung dibuka. Sang istri melompat dan melihat CCTV, gerangan tamu siapa yang sore-sore bertamu.
“Bu Tengku Zakaria, Pa. Tampaknya mengantar makanan.”
Maka sang istri keluar membukakan pintu pagar.
“Ini ada sedikit kurma dan air zam zam, kan pak Tengku baru balik umrah.”
Terima kasih, dan sekadar basa basi Bu Dendys mempersilahkan untuk masuk dulu. Tapi Bu Tengku menolak karena masih mau ke tetangga lainnya.
“Pa, ini ada bingkisan kurma dari Pak Tengku yang baru balik dari umrah.”
“Kalau Mama mau makan ya makan saja, Papa kok malas makan makanan yang berbau kadrun, ya.”
“Jangan gitu dong, Pa, kan kurma itu makanan yang paling disuka Nabi. Juga meski dari negeri kadrun, kan kurma ini gak punya salah apa-apa.”
“Iya sih, tapi Papa malas memakannya.”
Sang istri tidak kehilangan akal untuk menjadikan agar suaminya sedikit lebih wise memandang sebuah persoalan. Tampaknya sang suami terbawa oleh pekerjaan, yang memang kontra pada apa saja yang berbau padang pasir.
Katanya, “Hayo, bukannya kedatangan si RSH dari negeri kadrun, itu yang membuat pekerjaan Papa makin moncer… Iya, kan?” Sang suami mendengarkan, sambil berpikir bener juga apa yang diomongkan sang istri itu.
Lalu pesan dari ponsel pak Dendys bergetar, ada pesan via WA yang masuk. Dilihatnya, ternyata dari Pak Order. Bunyi pesannya, “Bela si NM. Buat pernyataan dengan serang balik,” itu bunyi pesannya.
Lalu Pak Dendys menjawab cukup dengan satu kata, “Siap.”
Sayup-sayup suara di masjid sekitar rumahnya mengumandangkan adzan, sudah masuk waktu maghrib. Pak Dendys tidak menggubris suara adzan, ia tampak serius di depan laptopnya, mengonsep, buat pernyataan provokatif sesuai orderan. Lalu mengirimkan ke beberapa media online yang memang senang menerima berita-berita “miring” yang berbau provokasi.
Dan biasanya tidak lama pernyataannya itu lalu jadi viral. Dimuat tidak saja satu media, tapi beberapa media akan mencomot berita viral itu, dan lalu ikut memberitakan.
Siapa Pak Order itu, tidak ada yang tahu, bahkan Pak Dendys pun tidak tahu siapa yang mengordernya itu. Bahkan nomor ponsel Pak Order, tiap saat berganti. Kerja ini layaknya seperti kerja intelijen, rapi jali.
Ini kerja “tahu sama tahu”, saling percaya dan karenanya tidak perlu memasalahkan siapa yang mengorder itu. Saling membutuhkan antara pengorder dan si penerima order. Tidak perlu takut orderan tidak dibayar segala. Itu tidak pernah terjadi.
Protes dan Ketakutan Sang Istri
Kerja Pak Dendys kerjah mudah, bahkan tidak pakai keluar keringat, dan dapat bayaran yang tidak kecil. Banyak yang tergiur, dan lalu memilih jalan seperti Pak Dendys. Tapi tidak ada yang lebih populer dibanding Pak Dendys itu, yang berani pasang badan.
Tidak itu saja, bobot pernyataan provokasinya pun bahkan berani melawan kepercayaan agamanya sendiri. Pak Dendys memang total dalam bekerja, tampak lebih strategis pernyataannya, lebih elitis dan selangkah lebih ke depan ketimbang lainnya.
Meski tampak pekerjaan Pak Dendys itu mudah, karena siapa yang tidak bisa buat pernyataan macam itu, memutarbalikkan persoalan dari yang tidak demikian menjadi demikian. Bau fitnahnya memang pekat. Karenanya, meski tampak mudah tapi cuma orang yang tanpa nurani dan bersandar pada perasaan tega yang bisa melakukannya.
Kerja mudah, hasil besar dan tanpa nurani. Itulah kata kunci dari pekerjaan yang digeluti Pak Dendys dan kawan-kawan. Bukan kerja yang bisa dilihat wujudnya, sebagaimana kerja-kerja orang kantoran. Kerja Pak Dendys itu merusak akal waras menjadi sakit. Jika makin banyak yang sakit, maka itu dianggap kerja berhasil.
Makin banyak yang tersesat, maka kerja Pak Dendys dinilai makin baik, dan punya nilai tersendiri. Jasanya akan dipakai terus dan tentu harganya makin mahal. Apalagi kalau banyak orang yang tersengat dengan provokasinya.
Tapi terkadang sang istri meski kehidupan mereka makin makmur, tetap saja perasaan ketakutan menyergapnya. Dalam hati bertanya, bahwa apa yang dilakukan suaminya itu pekerjaan bukan saja berbahaya bagi keselamatannya tapi juga bagi keluarga.
Tidak itu saja, si istri jika mengingat pekerjaan suaminya menangis pilu dalam kesendirian memikirkan dosa yang akan diterima kelak. Si istri tidak punya daya, karena cuma ibu rumah tangga biasa.
Sesekali sang istri sampaikan curahan hatinya itu pada suaminya, “Pa, Mama selalu berdoa agar Papa bisa dapat pekerjaan yang lebih baik dari yang Papa jalani sekarang. Mama gak tenang… Bukannya pekerjaan Papa pekerjaan dosa.”
Jika istrinya mulai protes, maka Pak Dendys akan berkata, “Apa Mama pengen keluarga kita akan berkekurangan lagi, seperti dulu sebelum Papa menggeluti pekerjaan yang sekarang?”
“Tapi Mama tetap doa agar Papa bisa berhenti dari pekerjaan ini. Papa harus janji dan mulai memikirkan pekerjaan lain yang halal.”
Tersulut juga Pak Dendys saat sang istri bicara tentang kata “halal” itu.
“Memang pekerjaan Papa ini pekerjaan haram, ya? Ini pekerjaan intelektualis, tidak semua bisa melakukan pekerjaan ini. Dari yang sedikit ini Papa yang terpilih. Kerja Papa ini kerja mengubah opini masyarakat. Kerja Papa ini kerja pakai ilmu. Papa tidak memaksa mereka yang membaca opini yang disebar untuk mengikuti. Mau ikut silahkan, gak ikut juga gak masalah.”
Dan biasanya, jika sudah demikian, maka si istri lebih memilih untuk tidak mendebatnya lagi. Tidak memperpanjang perdebatan. Ia lebih memilih diam, tidak ingin keributan yang lebih dalam terjadi.
Memang cuma Tuhan dan kesadaran yang bersangkutan yang bisa mengembalikan jati dirinya. Jika tidak ingin ada rasa ingin “kembali” ke jalan yang benar, maka mustahil bisa didapat. Tapi tampaknya Pak Dendys masih menikmati pekerjaannya ini, pekerjaan julit yang menghasilkan fulus yang tidak sedikit.
Inilah secuil kisah keluarga Pak Dendys Sigaras sore di akhir pekan beberapa saat lalu. Apa ada yang ingin ikuti pekerjaannya, tertarik? Jangan ah… fitnah itu dosa, bahkan termasuk dosa besar. Kerja yang halal saja, meski dapat sedikit tapi berkah.
***
Kisah yang dibangun dalam tulisan Kisah Dendys Sigaras dan Istri, Dialog Permenungan ini adalah kisah imajiner, tentu tidak untuk mempermalukan satu pihak dan memuliakan pihak lainnya.
Jika ada persamaan kisah ini dengan para pihak yang lalu merasa tersentil, ya semoga sentilan itu bisa membawa jalan menuju tobat. Jika ada persamaan atau kemiripan nama dengan para pihak, itu cuma kebetulan saja.
Terima kasih sudi membacanya! (*)
Kisah Dendys Sigaras dan Istri, Dialog Permenungan,: Editor Mohammad Nurfatoni.