Petamburan Bukan Sekadar Lubang Kunci, kolom oleh Ady Amar, pengamat masalah-masalah sosial.
PWMU.CO – Petamburan nama sebuah jalan, dan itu di Jakarta. Tepatnya di Jakarta Pusat. Masuk Kelurahan Petamburan, dan Kecamatan Tanah Abang.
Petamburan lalu menjadi nama jalan yang dikenal tidak saja di Jakarta, tapi juga di seantero negeri. Lebih dikenal bahkan ketimbang Jalan Medan Merdeka Utara, yang tentu lebih prestisius karena di situ ada Istana Merdeka, tempat Presiden berkantor.
Petamburan bukanlah kawasan elit, kawasan biasa saja. Bahkan terkesan kurang molek jika harus disandingkan dengan kawasan Pondok Indah, misal, sebuah kawasan elit di Jakarta.
Petamburan tidaklah layak disanding-sandingkan dengan kawasan lainnya, bahkan juga jika harus dipersamakan dengan kawasan yang sepadan dengannya.
Petamburan dibicarakan dan dikenal di seantero negeri, itu karena di sana, tepatnya di Jalan Petamburan III, berdiri Markas Front Pembela Islam (FPI). Sekaligus di situlah Habib Rizieq Shihab (HRS) bertempat tinggal.
Rumah yang juga menjadi markas kegiatannya, itu amat sederhana jika disandingkan dengan kebesaran namanya. Tidak ada yang istimewa, biasa-biasa saja.
Tidak mencolok dibanding rumah-rumah sekitarnya. Mungkin yang tampak beda adalah di depan markas/rumah itu khususnya, banyak santri berjaga-jaga sigap dengan pakaian serba putih. Bahkan di sepanjang jalan Petamburan III itu ramai dengan para santri yang juga tampak berjaga-jaga, konon jaga bergantian.
Mereka tentu tidak sekadar menjaga rumah itu, tapi yang utama menjaga penghuninya, HRS sekeluarga. Tidak sembarang orang boleh memasuki rumah itu tanpa luput dari interogasi. Pak Polisi pun dicegatnya saat mengantar surat panggilan kedua dari Kapolda Metro Jaya. Surat panggilan, dan itu soal acara menikahkan anak yang dihadiri banyak orang di masa pandemi. Harusnya masalah ini disudahi saja, tidak perlulah diperpanjang. Denda sudah dikenakan pada shahibul bait Rp 50 juta, dan pula sudah dibayar kontan.
Petamburan dalam Pusaran Politik
HRS mampu menjadikan Petamburan dikenal seantero negeri, seolah bersanding dengan nama besarnya. Jika ada dua pertanyaan tentang Petamburan, maka akan muncul jawaban, HRS dan Markas FPI.
Petamburan lalu menjadi identik dengan dua nama itu. Suka atau tidak, diakui atau bahkan dipungkiri. Dikenal di seantero negeri, maka apa yang terjadi di Petamburan, saat-saat ini, itu akan menentukan konstelasi politik (nasional) menyertainya. Tidak berlebihan.
Kita saksikan saat ini betapa besar negeri ini membutuhkan energi, juga strategi, yang mesti dikeluarkan untuk menyikapi Petamburan. Segala cara juga kemampuan dikerahkan.
Tidak cukup unsur Kepolisian melunakkan, tapi perlu juga gunakan TNI lewat Pangdam Jaya, yang lalu mencopoti baliho bergambar HRS meski yang tertulis pada baliho itu ajakan kebaikan akan Revolusi Akhlak.
Pencopotan baliho itu dilakukan demonstratif, bahkan baliho yang ada di depan Markas FPI pun tidak luput disasar. Pokoknya harus steril dari gambar HRS. Entah perintah dari siapa, atau suka-suka saja. Masa sih? Apa pun itu, baliho sudah dicopot, upaya untuk meniadakan “gambar” HRS terlaksana rapi. Apa itu selesai? Belum tentu.
Pada hitungan hari, muncul di seantero negeri kaos lengan panjang dengan pilihan warna hitam dan putih, yang di bagian dada menyembul wajah HRS dengan senyum sumringah dengan tulisan mencolok “Revolusi Akhlak”.
Puluhan bahkan ratusan baliho dicopot, lalu muncul gambar HRS di dada-dada para pecintanya. Bukan lagi gambar HRS yang “digantung-gantung” di jalanan, tersapu angin panas siang hari, dan dingin menusuk saat malam menjelang.
Kreativitas muncul tak henti-henti. Semata itu bersandar pada kecintaan akan HRS yang tidak bisa dijawab sekenanya. Perlu melibatkan banyak pakar melihat fenomena yang muncul. Penyikapannya pun mesti terukur, tidak grusa-grusu mengumbar narasi ancaman.
Menganggap Petamburan kecil lalu terus-terusan melabraknya, itu tidak menjadikannya jadi kecil dan tumbang. Malah sebaliknya, itu bagai api kecil yang ditiup-tiup angin lalu membesar.
Maka melihat Petamburan mestinya dengan spektrum yang diperluas, tidak sekadar Jalan Petamburan. Tapi melihatnya haruslah seperti melihat sesuatu dari balik lubang kunci. Maka yang terlihat dari lubang kecil itu sesuatu yang besar.
Musykil jika melihat Petamburan seolah sekadar lubang kunci kecil saja, tanpa mau melongok ke dalamnya. Mustahil bisa menemukan di balik lubang kunci itu unsur-unsur kelebihan yang membesarkannya.
Karenanya, melihat Petamburan mestilah utuh. Tidak sepotong-potong apalagi dengan siasat memotong-motong, itu pastilah tidak akan efektif.
Dialog saling memahami dan mencari titik temu adalah hal positif jika itu jadi pilihan. Semua berpulang pada niat baik dua belah pihak, lain tidak.
Jangan terlambat melihat Petamburan, dan berdialog dengannya. Tidak ada yang boleh merasa lebih, agar daulat rakyat tidak dirampas secara paksa, lalu darah mesti bersimbah. Semoga itu tidak akan pernah terjadi. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.