Cerita Pak AR Tinggal di Kontrakan yang Dihuni Jin ini mencuplik buku Biografi Pak AR karya Sukriyanto AR—anak Pak AR. Yang menerbitkannya Penerbit Suara Muhammadiyah, Mei 2017. PWMU.CO melengkapinya dengan sumber lain.
PWMU.CO – Sampai wafatnya Jumat 17 Maret 1995 di usia 79 tahun, Pak AR Fachruddin—Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah terlama (1968-1990)—tidak pernah memiliki rumah.
Rumah besar yang ditempatinya di Cik Ditiro 19A Yogyakarta sejak 1971 bukan milik pribadi melainkan milik persyarikatan Muhammadiyah. Sebelumnya, Pak AR sekeluarga menghuni rumah sewa sederhana di kawasan Kauman, Yogyakarta.
Mengutip merdeka.com, Pak AR sebenarnya juga ingin punya rumah sendiri. Dia pernah mengangsur rumah pada awal 1960-an ketika masih bertugas di Departemen Agama. Sayang, developer (pengembang)-nya menipu Pak AR. Melarikan uangnya.
Menyesal Tanya Rumah
Soal rumah yang ditipu itu Saefuddin Simon mengungkap dialog Pak AR dengan istrinya Siti Qomariyah dalam tulisan Rumah di Surga Pak AR Fachrudin yang dimuat republika.co.id.
“Pak, bagaimana perkembangan rumah kita?,” kata Bu Qom—sapaan Siti Qomariyah—suatu ketika kepada Pak AR yang baru datang dari ceramah di luar kota.
Pak AR pun terdiam. Keriangan di wajahnya kelihatan pudar. “Bu, sabar ya. Soal rumah jangan dipikirkan lagi. Developernya lari. Tak usah disesali, Allah akan mengganti rumah kita dengan rumah yang lebih baik di sorga nanti,” jawab Pak AR lirih.
Bu Qom merasa menyesal mempertanyakan soal rumah tersebut. “Saya sangat menyesal mempertanyakan rumah itu kepada Pak AR. Padahal Pak AR masih capai, baru datang dari luar kota,” kata Bu Qom menyesali munculnya pertanyaan itu.
Sampai bertahun-tahun kemudian, setelah Pak AR wafat, Bu Qom masih menceritakan peyesalannya soal pertanyaan rumah itu. Mungkin karena penyesalan tersebut, Bu Qom meneruskan pilihan hidup miskin tanpa memiliki rumah.
Setelah Pak AR wafat dan rumah Cik Ditiro 19A pinjaman Muhammadiyah itu diberikan kembali oleh keluarga Pak AR kepada perserikatan. Kemudian Muhamamdiyah—atas usulan Prof Malik Fadjar—akan memberikan tanah seluas 1000 meter persegi dekat Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk keluarga Pak AR.
Muhammadiyah juga akan membiayai pembangunan rumah keluarga Pak AR sebagai ungkapan terima kasih atas kepemimpinan Pak AR yang membesarkan Muhammadiyah selama 22 tahun.
Tapi niat baik itu ditolak secara hasul oleh Bu Qom. “Tidak usahlah. Muhammadiyah lebih membutuhkan tanah itu ketimbang keluarga saya,” kata Bu AR.
Langganan Tinggal di Rumah Jin
Sebelum Pak AR tinggal di rumah pinjaman Muhamamdiyah di Cik Ditiro 19A Yogyakarta, Pak AR adalah ‘kontraktor’ alias tukang kontrak rumah. Da berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya. Dan beberapa rumah kontrakan itu dianggap oleh otang-otang sekitar ada jinnya.
Sukriyanto AR menceritakan, ketika bertugas di Sentolo, Kulonprogo, Pak AR menyewa rumah di selatan pasar, sebelah barat stasiun. Rumah itu sudah lama kosong, karena itu tidak ada yang berani tinggal di situ.
Pemilik rumah itu seorang janda tua yang kaya dikenal dengan panggilan Mbah Radi. Orangnya keras (galak), banyak orang yang takut padanya. Orang itu punya rumah banyak. Salah satu rumah yang katanya ditunggui “jin” itu.
Kata orang-orang, setiap malam di dekat sumur sering terdapat bunyi gerat-gerit, seperti orang menimba air. Karena harga sewanya murah, maka rumah itu kemudian disewa oleh Pak AR.
Dan, betul di sana memang terdapat bunyi gerat-gerit. Ketika diperhatikan bunyi itu ternyata adalah bunyi bambu yang dipakai untuk menaikkan air (Jawa: senggot), yang kalau kena angin berbunyi gerat-gerit.
Selama tinggal di situ ternyata tidak ada apa-apa, kecuali bunyi gerat-gerit itu. Jadi, lumayan dapat rumah agak luas, halamannya luas, banyak pohon mangganya, dan sewanya murah.
Jin Trowongso
Ketika pindah ke Kauman Nomor 260 BL, Pak AR tinggal—maksudnya menyewa—rumah H Abdullah. Kata orang, di rumah itu ada jin yang tinggal di situ. Namanya Trowongso. Kadang-kadang, di malam hari, sering terdengar ada suara anak menangis. Dan sering pula ada bunyi ‘dar-der’ seperti dilempari batu.
Tapi selama Pak AR tinggal di rumah itu, alhamdulillah, tidak terjadi apa-apa. Tidak pernah bertemu atau diganggu Trowongso. Memang sering terdengar seperti anak menangis, tetapi setelah diperhatikan ternyata suara binatang (sejenis luwak).
Adapun bunyi ‘dar-der’ itu setelah diperhatikan ternyata suara buah sawo yang jatuh di malam hari karena dimakan codot, jatuh di atas rumah yang kebetulan terbuat dari seng.
Saat di Semarang, Pak AR juga ditawari rumah yang ada jinnya. Pak AR sempat tinggal di situ sementara, tetapi karena rumahnya sangat besar dan biaya perawatannya tinggi— padahal gaji Pak AR hanya sedikit—terpaksa rumah itu ditinggalkan dan pindah ke rumah gedhek (anyaman bambu) di Pindrikan, di Jalan Sadewa 45 Semarang.
Jadi, memang Pak AR langganan tinggal di rumah yang ada ‘jin’-nya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni